Pemanfaatan DEFA Dorong Perkembangan Ekonomi Digital
RUZKA INDONESIA - Implementasi Digital Economy Framework Agreement (DEFA) dapat mendukung pengembangan ekonomi digital Indonesia. Namun implementasi ini perlu diikuti sejumlah prasyarat, misalnya saja standarisasi produk lokal, akses pasar yang terbuka dan inklusif, keamanan data serta regulasi terkait sistem pembayaran antar negara yang akomodatif.
DEFA, yang termasuk ke dalam perjanjian regional, biasanya akan bersifat lebih fleksibel ketimbang kemitraan dengan negara di luar kawasan. Oleh karena itu, penerapannya akan membuka banyak peluang, seperti ekspansi pasar.
DEFA mengatur banyak hal mulai dari hulu ke hilir mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi digital. Misalnya saja terkait penerapan e-commerce, seperti paperless trading, custom, e-payment, security, dan artificial intelligence (AI).
Hal ini juga ditegaskan oleh Deputi Asisten Digital, Deputi IV Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Theodore Sutarto dalam diskusi DEFA dan Masa Depan Perdagangan Lintas Batas Regional di Digiweek 2024.
‘’Dari sisi bisnis, ketika mindset pelaku bisnis menyasar ke negara ASEAN, tentu akan bagus. Indonesia menyumbang 40% dari pasar ASEAN dan hampir 90% diantaranya adalah e-commerce. Tentu ini adalah sebuah potensi,’’ ungkapnya di Jakarta, kemarin.
Perumusan naskah dari perundingan DEFA yang sudah berlangsung sejak September 2023 baru mencapai 7%. Penyelesaian naskah ini ditargetkan akan mencapai 50% pada akhir tahun ini.
Negosiator Perdagangan Ahli Muda Kementerian Perdagangan (Kemendag), Winda Ismaharli menyebut, dalam proses negosiasinya, DEFA juga menjadikan trade agreement lain sebagai referensi, misalnya Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA).
RCEP sendiri juga membahas e-commerce. Sementara AANZFTA juga sudah membahas ekonomi digital. DEFA diharapkan bisa membahas aturan terkait ekonomi digital secara lebih mendalam dan mencakup seluruh aspek yang ada di dalamnya.
‘’Kami berharap DEFA dapat menjadi umbrella di ASEAN sebagai referensi. Biasanya dalam perundingan setelah negosiasi sudah selesai, kemudian di peraturan domestik kita menyesuaikan. Pendekatan DEFA saat ini masih bersifat sektoral, dalam negeri melakukan harmonisasi agar tidak ada resiko tumpang tindih kedepannya,” tandas Winda.
Sementara itu, Ketua Indonesia E-commerce Association (idEA), Hilmi Adrianto menyebut, DEFA bisa menjadi peluang untuk e-commerce untuk melakukan ekspansi pasar. Di ASEAN, beberapa pelaku e-commerce dari Indonesia sudah merambah ke negara-negara ASEAN.
Namun, ia juga menyebut masih perlunya penjajakan lebih lanjut terkait pengaplikasian DEFA bagi setiap platform. Peluang pasar belum tentu menjadi tujuan utama dari masing-masing platform. Bahkan ada yang menganggap peluang pasar sebagai tantangan.
“Tujuan masing-masing platform bisa berbeda dan sifatnya juga berbeda-beda. Beberapa sudah diajak berdiskusi tapi belum sampai melihat secara keseluruhan tujuannya seperti apa,” jelas Hilmi.
Ia melanjutkan, setiap platform juga memiliki tantangannya masing-masing. Salah satu tantangan yang umum dihadapi adalah mengenai data. Proses sinkronisasi data, jika ingin diimplementasikan terkait apakah UU PDP, perlu selaras dengan penerapan UU serupa di negara lain.
Karena adanya perbedaan tujuan dan urgensi dari sebuah peraturan, belum tentu aturan serupa di negara lain setara dengan peraturan yang ada di negara kita. Hal serupa juga berkaitan dengan sinkronisasi hal lain, seperti kepabeanan dan customer service.
Mengingat potensi dan perkiraan kontribusinya yang besar untuk menumbuhkan perekonomian, transformasi digital perlu dijadikan prioritas dalam pembangunan. Pemanfaatan trade agreement akan sangat efektif jika diikuti dengan berbagai perbaikan dan inovasi. ***