Judi Online Merajalela, Literasi Digital dan Keuangan Makin Perlu Digenjot
RUZKA INDONESIA - Maraknya judi online di masyarakat harus diimbangi dengan masifnya upaya peningkatan literasi digital dan literasi keuangan. Umumnya, para pelaku judi online memiliki alasan tersendiri dalam melakukan perjudian, seperti permasalahan ekonomi.
"Setidaknya ada dua faktor yang saling terkait. Satu, faktor lingkungan atau eksternal seperti aksesibilitas yang mudah, murah, iklan yang masif, pergaulan dan ajakan teman. Satu lagi yang tidak kalah penting adalah belum adanya ketegasan atau kepastian hukum terhadap pelaku judi online," jelas Peneliti Muda Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Muhammad Nidhal di Jakarta, Rabu (26/6/2024).
Nidhal menambahkan, selanjutnya adalah faktor individual atau internal, seperti pemahaman yang kurang terhadap risiko judi online, literasi keuangan yang belum memadai, dorongan mencari keuntungan cepat dan kebutuhan hiburan yang sifatnya candu.
Melihat hal ini, literasi digital dan literasi keuangan menjadi dua hal yang masih perlu ditingkatkan.
Berdasarkan data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK tahun 2022, tingkat literasi keuangan masyarakat baru mencapai 49,6%, lebih rendah dari tingkat inklusi keuangan yang sudah mencapai 85%.
Survei yang sama juga menunjukkan capaian literasi digital yang berada di angka 41,48%.
Sejauh ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengambil langkah pencegahan, seperti memperketat sistem uji kelayakan dana nasabah ke bank dan mengkonsolidasi data nasabah yang terindikasi terlibat judi online.
OJK juga bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPTAK). Kerja sama ini bertujuan untuk mencegah maraknya rekening judi online dengan memerintahkan bank untuk memblokir rekening terkait, sebagaimana tercantum dalam UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Dengan edukasi dan literasi keuangan yang baik, seseorang akan dapat mengelola keuangannya untuk hal-hal produktif, sehingga dapat mencapai kestabilan dan kesejahteraan finansial, serta terhindar dari kecanduan judi online.
Kemudian, literasi digital yang baik juga dapat meningkatkan pemahaman risiko judi online dan tercegah dari penipuan daring, kejahatan digital, hingga kebocoran data.
Literasi digital dan keuangan yang dibarengi dengan langkah-langkah pencegahan konkret lainnya dari regulator, pemerintah, dan industri akan secara efektif dapat mengurangi 'korban' judi online dan menciptakan ekosistem yang terbebas dari judi online ilegal.
Nidhal merekomendasikan, perlunya upaya perlindungan konsumen, khususnya di ruang digital, terlebih saat ini regulasi perlindungan konsumen yang berlaku (UU 8/1999) belum mengakomodasinya.
Ia menilai perlu adanya urgensi hukum yang lebih tegas dan jelas untuk pengaturan mengenai judi online.
Di saat yang bersamaan, pendekatan kolaboratif pemerintah-swasta dalam peningkatan program, inisiatif edukasi, dan kampanye literasi digital dan keuangan yang terarah dalam mencegah masyarakat dari bahaya judi online juga penting.
OJK dan Kemenkominfo, sebagai dua regulator utama, dapat memperbanyak program edukasi, lokakarya dan webinar tentang literasi digital dan keuangan untuk masyarakat.
Kerja sama dengan sekolah, universitas, dan institusi pendidikan lainnya juga perlu ditingkatkan sehingga bisa menjangkau anak muda yang merupakan kelompok paling rentan.
"Tak kalah penting, masyarakat juga perlu berpartisipasi dalam mendukung program dan inisiatif pemberantasan judi online serta menegakkan hukum demi mencegah kasus perjudian online terus meningkat," tutup Nidhal. **