Home > Nasional

Serikat pekerja Harus Dilibatkan dalam Penyusunan RPP Kesehatan

Pemerintah dinilai tidak melibatkan industri periklanan maupun industri kreatif sebagai pemangku kepentingan yang terdampak aturan dan pasal-pasal dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.
Kiri-kanan. Sekjen ATVSI Gilang Iskandar, Wakil Ketua DPI Janoe Arianto, Ketua DPI M. Rafiq, Ketua IDA Dian Gemiano, dan Ketua Umum AMLI Fabianus Bernadi saat konferensi pers
Kiri-kanan. Sekjen ATVSI Gilang Iskandar, Wakil Ketua DPI Janoe Arianto, Ketua DPI M. Rafiq, Ketua IDA Dian Gemiano, dan Ketua Umum AMLI Fabianus Bernadi saat konferensi pers "Sikap Dewan Periklanan Indonesia Terhadap Larangan Iklan, Promosi, dan Sponsorship Produk Tembakau pada RPP Kesehatan" di Jakarta, Selasa (28/5/2024). (Foto: Dok Ruzka Indonesia)

RUZKA INDONESIA - Pelaku usaha maupun pekerja media dan industri kreatif harus dilibatkan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang merupakan aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Hal tersebut dilakukan agar isi aturan di dalam RPP Kesehatan, salah satunya mengenai aturan tembakau yang rencananya akan segera diterbitkan dalam waktu dekat ini, dapat diketahui secara detil.

"Secara organisasi, kami belum terlibat terkait perancangannya. Kami juga belum membaca dan mempelajari soal (aturan tembakau di) RPP Kesehatan," ujar Koordinator Divisi Advokat Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Guruh Riyanto dalam keterangannya di Jakarta, kemarin.

Dari 16 subsektor ekonomi kreatif, setidaknya terdapat enam subsektor yang terkait dengan industri tembakau dari aspek periklanan hingga pembuatan materi konten kreatif.

Adapun secara kolektif, enam subsektor itu dinilai dapat terancam oleh pasal pelarangan iklan dalam RPP Kesehatan, yang merupakan ladang mata pencaharian bagi 725.000 pekerja di industri media dan kreatif di Indonesia.

Sementara itu, Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI) M. Rafiq menolak pasal-pasal yang terkait pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship bagi produk tembakau dalam RPP Kesehatan.

Ia pun menyayangkan sikap pemerintah yang tidak melibatkan industri periklanan maupun industri kreatif sebagai pemangku kepentingan yang terdampak dalam merancang aturan dan pasal-pasal yang identik dengan pelarangan tersebut.

“Kami sudah bersurat berkali-kali kepada pemerintah sebagai inisiator regulasi, namun tidak mendapatkan respons apa pun hingga saat ini," katanya.

Rafiq menjelaskan bahwa saat ini iklan rokok sudah diatur melalui sejumlah regulasi untuk memastikan komunikasi yang ditujukan oleh produsen menjangkau konsumen dewasa (18 tahun ke atas) seperti pada PP Nomor 109 Tahun 2012.

Sementara itu, ketentuan tentang iklan rokok juga telah diatur secara detil dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI), yang mana keduanya telah dipatuhi secara disiplin oleh pelaku industri iklan dan kreatif.

Sedangkan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Gilang Iskandar mengungkapkan sejumlah aturan pelarangan terkait iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau tersebut akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan industri media, periklanan, dan kreatif di tanah air, termasuk sektor pertelevisian.

Pasalnya, kata dia, iklan rokok telah menjadi kontributor utama pendapatan iklan media.

Gilang menganggap rencana pelarangan iklan produk tembakau akan mempengaruhi usaha media dan periklanan, di mana dalam setahun rata-rata bisnis media dan periklanan dapat memperoleh sekitar Rp9-10 triliun yang didominasi oleh industri tembakau.

Ia juga memperkirakan adanya potensi penurunan yang dapat terjadi jika pembatasan dan penyempitan iklan rokok diberlakukan, maka industri media dan periklanan dapat kehilangan pendapatan hingga Rp9 triliun.

"Perlu dipahami bahwa iklan juga akan menentukan kualitas konten dari media penyiaran, maka dampak kerugian yang akan ditimbulkan dengan hilangnya Rp9,1 triliun ini tidak hanya berhenti pada kerugian media penyiaran, namun juga mempengaruhi kualitas siaran hingga kemampuan media memperkerjakan para karyawannya," ujar Gilang.

Dari sisi industri kreatif, sebagai industri yang berpotensi terdampak cukup besar dari pembatasan produk tembakau, Sekretaris Jenderal Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) Emil Mahyudin mengatakan sebagian besar bahkan hampir seluruhnya kegiatan konser dan festival musik tidak cukup hanya mengandalkan dari penjualan tiket saja.

Namun, salah satunya juga mengandalkan pemasukan sponsor. Dalam hal tersebut dukungan terbesar berasal dari industri tembakau.

"Di Indonesia, banyak sekali event yang semuanya terdapat kontribusi dari industri tembakau. Bayangkan kalau kita kehilangan pendapatannya, apalagi industri ini baru saja terdampak oleh COVID-19 dan baru mau pulih kembali," ucapnya. (**)

× Image