Dewan Media Sosial Berpotensi Ancam Kebebasan Berbicara dan Berekspresi
RUZKA INDONESIA - Wacana pembentukan Dewan Media Sosial (DMS) oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berpotensi membatasi kebebasan masyarakat dalam berbicara dan berekspresi di ruang digital.
"Dampaknya bisa beragam, tergantung pada independensi dewannya (DMS) dan implementasinya di lapangan. Kehadiran DMS dikhawatirkan membatasi kebebasan berbicara dan berekspresi jika digunakan untuk menekan suara-suara minoritas atau yang berbeda pendapat," jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Muhammad Nidhal di Jakarta, kemarin.
Sebelumnya, pembentukan DMS Indonesia yang diwacanakan oleh Kemenkominfo masih belum jelas wewenangnya akan seperti apa sehingga bisa berpotensi berseberangan dengan prinsip dan standar internasional terkait pelindungan kebebasan berekspresi dan keberagaman pendapat di ranah digital.
Namun, Nidhal juga tidak memungkiri pembentukan DMS merupakan langkah strategis untuk menjaga aktivitas masyarakat di ranah digital, khususnya media sosial. Lebih jauh lagi, pembentukan DMS juga merupakan hasil dari beberapa rekomendasi global seperti badan khusus PBB UNESCO dan organisasi HAM Internasional ARTICLE 19.
Menurutnya, dengan budaya peraturan yang semakin mengedepankan pengaturan bersama (koregulasi), DMS dapat mengarah pada pengaturan yang lebih baik dan jelas terhadap konten dan aktivitas berbahaya di media sosial. Mekanisme pengaturan mandiri (self-regulation) yang selama ini diterapkan oleh raksasa platform media sosial terkait moderasi konten dinilai masih terdapat bias dan diskriminasi karena kurangnya pemahaman konteks lokal.
Selain itu, DMS juga dapat menghadirkan pengaturan bersama yang lebih jelas, partisipatif dan transparan sesuai standar global untuk praktik baik moderasi konten.
Langkah-Langkah keamanan dan keselamatan online juga bisa lebih baik untuk meminimalisir konten berbahaya seperti ujaran kebencian, misinformasi dan disinformasi, serta cyberbullying.
Namun, pembentukan DMS yang tidak ideal juga memunculkan potensi kekurangan, seperti penyensoran dan pembatasan kebebasan berekspresi. Belum lagi munculnya potensi lain, seperti kurangnya transparansi atau penyalahgunaan kekuasaan oleh Dewan.
"Idealnya, DMS harus independen, transparan, inklusif, dan akuntabel. Dewan ini harus memprioritaskan pelindungan hak-hak digital pengguna media sosial dan tidak berperan aktif untuk melakukan pengawasan digital (surveillance) terhadap konten-konten yang dibuat pengguna," jelas Nidhal.
Dengan demikian, DMS sebetulnya dapat memainkan peran yang positif dan efektif dalam membela dan mempromosikan hak atas kebebasan berekspresi dalam pengembangan akuntabilitas moderasi konten. DMS juga diharapkan bisa berkontribusi pada lingkungan online yang lebih terbuka, kondusif, dan bertanggung jawab.
Nidhal merekomendasikan beberapa hal terkait wacana pembentukan DMS. Pertama, Kemenkominfo perlu melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk kelompok masyarakat sipil, para ahli, akademisi, dan perusahaan media sosial, dalam proses pembentukannya.
Kedua, Kemenkominfo perlu memastikan DMS beroperasi secara independen dan berada di luar rumpun lembaga eksekutif pemerintah. Komposisi DMS juga sebaiknya berisi perwakilan dari seluruh kelompok termasuk platform, ahli, akademisi, regulator, dan masyarakat sipil agar lebih memahami perkembangan konteks lokal dan menghasilkan keputusan yang lebih inklusif.
Ketiga, DMS perlu transparan dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebebasan berekspresi dan keragaman pendapat di ranah digital dipandu oleh standar internasional tentang kebebasan berekspresi dan hak-hak dasar HAM lainnya.
"Terakhir, dibutuhkan adanya pedoman dan mekanisme pengawasan yang jelas dan transparan untuk moderasi konten di Indonesia untuk mencegah kontrol berlebihan pada ruang digital," tutup Nidhal. (**)