Home > Ekonomi

Hilirisasi Nikel Hancurkan Maluku Utara dan Picu Kemiskinan

Operasi tambang nikel menargetkan dan mengorbankan pulau-pulau kecil hingga mengakibatkan kerusakan ekologi di Maluku Utara.
Ilustrasi pengembangan kawasan industri nikel. (Foto: Dok Ruzka Indonesia)
Ilustrasi pengembangan kawasan industri nikel. (Foto: Dok Ruzka Indonesia)

RUZKA INDONESIA - Proyek hilirisasi industri nikel yang dicanangkan oleh pemerintah pusat sebagai solusi perekonomian nasional telah memunculkan persoalan serius. Di Maluku Utara tercatat lebih dari dua dekade terakhir, eskalasi penambangan nikel terus meningkat tajam. Operasi tambang juga telah melenyapkan sumber-sumber produksi ekonomi warga. Kebun atau tanaman penghasil dan kawasan pesisir hingga laut sebagai wilayah tangkap nelayan telah hancur.

Selain itu, operasi tambang nikel juga menargetkan dan mengorbankan pulau-pulau kecil hingga mengakibatkan kerusakan ekologi di Maluku Utara . Padahal, kawasan ini sesungguhnya merupakan simpul cadangan pangan warga.

Demikian Kertas Posisi berjudul ‘Daya Rusak Hilirisasi Nikel: Kebangkrutan Alam dan Derita Rakyat Maluku Utara’ yang dibuat Forum Studi Halmahera (Foshal), Trend Asia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang diterima redaksi ruzkaindonesia.id di Jakarta, Rabu (29/5/2024). Laporan Kertas Posisi ini sebelumnya telah didiskusikan di Ternate pada Senin, 27 Mei 2024.

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Foshal, Julfikar Sangaji memaparkan bahwa di Maluku Utara terdapat dua kawasan industri pengolahan nikel, yakni Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Weda Tengah, Halmahera Tengah. Selain itu, daratan Pulau Halmahera juga dipenuhi dengan izin tambang nikel.

Julfikar juga menyebutkan di Maluku Utara telah dipenuhi 58 izin konsesi nikel dengan luas 262.743 hektar, dan ini belum termasuk luasan kawasan industri IWIP dan kawasan industri milik Harita. Sedangkan di atas Pulau Halmahera telah dibebani 28 izin nikel. Di Halmahera Tengah, izin konsesi tambang bahkan memenuhi hampir setengah atau 106.039 ha dari 227.683 ha total luas seluruh kabupaten di Provinsi Maluku Utara.

“Akselerasi tambang nikel telah mendorong meluasnya deforestasi. Data Global Forest Watch mencatat bahwa sejak 2001 hingga 2022, Kabupaten Halmahera Tengah telah kehilangan 26,1 ribu hektar tutupan pohon, sedangkan di Kabupaten Halmahera Timur telah kehilangan 56,3 ribu hektar tutupan pohon dalam periode yang sama,” ujar Julfikar.

Lebih dari itu, imbuh Julfikar, industri nikel turut merusak Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengakibatkan 7 bencana banjir bandang sejak 2020 di sekitar wilayah industri IWIP. Sementara limbah merusak perairan yang merupakan wilayah tangkap nelayan hingga melampaui baku mutu. Hal ini terjadi di Teluk Weda akibat operasional PT IWIP, Teluk Buli akibat operasional PT Antam (Persero), serta air di Pulau Obi akibat operasional PT Harita Nickel.

Tim Foshal Trend Asia dan YLBHI saat peluncuran laporan Kertas Posisi berjudul Daya Rusak Hilirisasi Nikel di Ternate, Maluku Utara, Senin (27/5/2024). Foto: Dok Foshal/Ruzka Indonesia)
Tim Foshal Trend Asia dan YLBHI saat peluncuran laporan Kertas Posisi berjudul Daya Rusak Hilirisasi Nikel di Ternate, Maluku Utara, Senin (27/5/2024). Foto: Dok Foshal/Ruzka Indonesia)

Sementara Mardani Legaelol, warga Desa Sagea, mengungkapkan masyarakat bergantung pada Sungai Sagea. Namun eksploitasi karst dan nikel di daerah aliran sungai membuat sumber air warga ini tercemar. “Lahan sekitar Danau Yonelo yang merupakan lumbung pangan warga juga mulai diambil konsesi tambang,” ujar Mardani.

Praktik industri yang serampangan telah berujung pada rangkaian kecelakaan kerja.

Sejak dimulainya masa operasional PT IWIP pada 2018, telah terjadi 4 kecelakaan

ledakan dan 1 kali kebakaran dengan puluhan korban buruh. Sementara ledakan smelter IWIP akhir 2023 lalu ditambah korban selama operasional IWIP mengakibatkan 25 korban jiwa dan puluhan korban luka bakar.

Sementara itu, polusi dari pembangkit batubara yang melistriki kawasan industri terus mencemari udara Maluku Utara. Di Desa Lelilef tempat IWIP beroperasi, angka kasus infeksi saluran pernapasan (ISPA) mengalami peningkatan konsisten.

“Sejak 2019, saya sudah mendalami dampak perusakan industri nikel pada ekosistem. Hasilnya mencengangkan: Reklamasi di wilayah IWIP membuat risiko banjir rob di masa depan. Ekosistem di tempat-tempat seperti Teluk Weda sudah hancur, habitat mangrove dan terumbu karang hilang 100%. Sisa ikan yang ada sudah tidak bisa dikonsumsi karena pencemaran sudah jauh di atas ambang batas,” ujar Dr. Muhammad Aris, akademisi dari Ternate.

“Pemerintah banyak mengklaim soal dampak positif ekonomi dari hilirisasi nikel.

Namun kalau diukur, dampak ekonomi dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan sangat masif dan sulit diukur,” pungkas Muhammad Aris.

Zainal Arifin, Manajer Kampanye YLBHI, menambahkan cara pemerintahan menggunakan label PSN (Proyek Strategis Nasional) menunjukkan tendensi otoritarianisme yang kuat. Pemerintah memberi karpet merah untuk korporasi melakukan perusakan demi kepentingan ekonomi, sementara warga yang merasa dirugikan dicap tidak nasionalis karena menghalangi kepentingan negara. Ini menunjukkan pola pikir Orde Baru dan demokrasi yang rusak. “Untuk pengelolaan sumber daya alam yang benar-benar demokratis, kita harus melindungi hak warga untuk menolak,” tegasnya.

Sedangkan Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia menyatakan Indonesia perlu menyeimbangkan kebutuhan atas pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan pelibatan masyarakat. Karena itu negara harus mendorong transisi energi berkeadilan. “Hilirisasi nikel yang serampangan hanya akan memindahkan masalah: konon Jakarta dibayangkan akan lebih bersih, namun tempat seperti Maluku dihancurkan. Selain itu, jika dihitung secara total dampak kerusakan lingkungan dalam jangka panjang justru akan menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar,” ujar Novita Indri. (**)

× Image