Pemerintah dan Masyarakat Perlu Kerja Sama Tekan Penjualan dan Penggunaan Antibiotik
RUZKA INDONESIA -- Dalam satu tahun terakhir, IQVIA (perusahaan yang menyediakan layanan untuk memajukan industri teknologi informasi kesehatan dan penelitian klinis) mencatat penjualan antibiotik di Indonesia menembus lebih dari Rp 10 Triliun.
Menurut Guru Besar Fakultas Farmasi (FF) Universitas Indonesia (UI) Prof. apt. Rani Sauriasari, M.Med.Sci., Ph.D., mengatakan bahwa peningkatan penjualan antibiotik dapat dimaklumi jika sebanding dengan peningkatan wabah penyakit infeksi yang membutuhkan antibiotik.
Penjualan yang tidak wajar, kemungkinan besar disebabkan oleh ketidakpahaman dan kelalaian pasien dan juga tenaga kesehatan yang berakibat pada penggunaan antibiotik secara tidak rasional.
Pasalnya, penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol, baik dalam jumlah maupun jenisnya, dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut.
Jika penggunaan antibiotik tidak tepat dan tidak terkendali, bakteri akan terus beradaptasi dan menjadi semakin kebal. Hal ini dapat membahayakan pasien, karena antibiotik yang seharusnya dapat menyembuhkan penyakit menjadi tidak efektif. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menekan penjualan dan penggunaan antibiotik di Indonesia.
Selain itu, Prof. Rani juga menyampaikan, perlu dilakukan analisis terhadap tempat diperolehnya antibiotik tersebut.
Apabila rumah sakit menjadi sumber belanja terbesar, pengendalian peresepan dokter harus sesuai dengan indikator rasionalitas peresepan antibiotik dengan diagnosis yang jelas dan berdasarkan pola penyakit yang ada. Di sisi lain, peran Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) dan apoteker di rumah sakit harus dioptimalkan.
Apabila sumber belanja terbesar berasal dari apotek, penyerahan antibiotik perlu dipastikan apakah dengan atau tanpa resep dokter. Apoteker sebagai perpanjangan tangan dokter memiliki peran penting dalam menilai kesesuaian peresepan, memberikan layanan informasi dan edukasi obat pada pasien, serta memantau efektivitas dan keamanan pasien.
Lebih lanjut, Prof. Rani menyampaikan bahwa masyarakat harus sadar akan adanya ancaman resistensi antibiotik. Berdasarkan kajian World Health Organization (WHO), angka kematian akibat resistensi antibiotik sampai dengan 2014 tercatat sekitar 700.000 orang per tahun.
Dengan cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi akibat mikroorganisme resisten, pada tahun 2050 diperkirakan kematian akibat resistensi antimikroba lebih besar dibanding kematian akibat kanker.
Sementara itu, penelitian untuk menemukan antibiotik baru selama lebih dari 60 tahun belum berhasil menemukan antibiotik yang dapat mengatasi bakteri multiresisten. “Bayangkan jika di masa depan terjadi pandemi infeksi bakteri multiresisten.
Situasinya akan mirip dengan pandemi Covid-19 lalu, di mana tidak ada antibiotik yang efektif untuk mengatasinya. Hal ini akan menjadi bencana kesehatan yang sangat serius,” ujar Prof. Rani.
Untuk itu, Prof. Rani merekomendasikan agar edukasi dan peringatan terhadap dokter yang melanggar perlu ditingkatkan sebagai bentuk pengendalian perilaku peresepan antibiotik.
Peran PPRA di rumh sakit juga turut dihadirkan dan dioptimalkan. Selain itu, apoteker penanggung jawab apotek wajib mematuhi aturan pemerintah dan perlu peringatan tegas apabila ada pelanggaran. Ketegasan bahwa antibiotik hanya bisa didapat dengan resep dokter di layanan farmasi resmi juga tidak kalah penting untuk terus diperhatikan.
Langkah-langkah tersebut harus sejalan dengan pemantauan rantai distribusi pasokan antibiotik dari distributor yang hanya dapat disalurkan ke apotek dan rumah sakit. Menurut Prof. Rani, riset penemuan antibiotik baru, terutama untuk bakteri multiresisten juga dapat diprioritaskan dalam menjawab tantangan resistensi antibiotik. (***)