17 Agustus 1945, Indonesia Merdeka, Tapi Depok Lebih Dulu Merdeka, Begini Ceritanya
ruzka.republika.co.id--Merdeka! Pekik kemerdekaan berkumandang di seluruh pelosok Nusantara. Setelah Soekarno-Hatta membaca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Hiruk-pikuk menyambut kemerdekaan disambut suka cita. Namun, justru ada satu wilayah kecil di Jawa Barat (Jabar) yang masyarakatnya gundah-gulana dengan pekik kemerdekaan tersebut. Wilayah tersebut yakni Depok.
Warga Depok saat itu justru merasa terancam dengan kemerdekaan Indonesia. Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, warga Depok tak mengakui kemerdekaan Indonesia.
Ceritanya begini. Diawali dari seorang tuan tanah Belanda, Cornelis Chastelein yang menentang segala kebijakan kolonialisme yang menyiksa rakyat Indonesia. Dikutip dari historia.id, Chastelein merupakan seorang warga Belanda keturunan Prancis yang memiliki peran penting di kongsi dagang penjajahan Belanda VOC. Ia berperan sebagai pencatat tata kelola buku perdagangan dan bisnis di tahun 1675.
Semakin berjalannya waktu, ia merasa tak sejalan dengan konsep VOC yang banyak membebani rakyat. Ia memang dikenal anti perbudakan karena dianggap bertentangan dengan ajaran di Kitab Injil. Karena masalah tersebut, Chastelein keluar dan beralih menjadi pengusaha. Usahanya berkembang pesat dan mengantarkannya menjadi pengusaha kaya raya.
Chastelein memiliki tanah seluas 1.240 hektare di selatan Jakarta dan menanaminya dengan berbagai jenis komoditas pertanian seperti indigo, coklat, sirsak, nangka, dan belimbing, rempah serta kopi.
Selama mengelola bisnisnya, pria yang juga penginjil tersebut dibantu oleh 150 budak yang ia sebut sebagai hamba atau asistennya. Para budak tersebut didatangkan dari sejumlah daerah di Indonesia Bali, Makassar, Malaka, bahkan ada yang dari Sri Lanka.
Dalam kutipan sejarah yang tertulis di Jejak-Jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis Chastelein (1657—1714), karya Jan-Karel Kwisthout, para budak tersebut sengaja didatangkan dari beberapa wilayah yang ahli dalam teknik pengelolaan lahan pertanian dan perkebunan. Chastelein berharap, tanah Depok yang subur bisa terkelola dengan baik dan bermanfaat.
Dalam buku itu juga, disebutkan cikal bakal dari Negara Depok berawal dari organisasi Kristen Protestan pertama di Indonesia yang didirikan Chastelein. Organisasi itu dibentuk sebagai ‘pelanggengan kekuasaan’ dengan nama Depok yakni singkatan dari De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen (organisasi Kristen pertama).
Salah satu tujuan didirikan organisasi tersebut, ialah mengenalkan agama melalui pendekatan yang lebih humanis. Pendekatan ini jauh dari kesan kekerasan dan perbudakan.
Seiring berjalannya waktu Chastelein sakit dan sebelum meninggal dunia, berpesan kepada seluruh budaknya agar mengelola seluruh lahan pertanian yang disampaikan melalui surat wasiat melalui kebijakan kepemilikan bersama.
Para budak tersebut diwariskan 12 nama marga dari ajarannya yakni, Bacas, Iskah, Jacob, Jonathans, Josef, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadok. Nama-nama itu, dikenal sebagai marga asli Belanda Depok, keturunan asli dari Chastelein.
Setelah Chastelein wafat pada 28 Juni 1714, para budak lantas dimerdekakan dan membentuk semacam organisasi yang disempurnakan. Hingga, menjadi sebuah sistem pemerintahan warisan Chastelein dengan pemimpin tertinggi serta asisten, yang merupakan cikal bakal Presiden dan Wakil Presiden dari Negara Depok.
Dilansir dari laman arsip Lentera Timur, Depok terus berkembang hingga di tahun 1871. Seorang advokat dari Belanda Mr.M.H. Klein merealisasikan perkembangan Depok menjadi sebuah republik dengan meletakan batu pertama bernama “Desa Republik”. Semenjak itu, Negara Depok berdiri dan ditetapkan hari wafatnya Chastelein pada 28 Juni 1714 sebagai peringatan kemerdekaan Negara Depok yang berbentuk Republik atau Depoksche Dag.
Selanjutnya lahir juga semacam peraturan perundang-undangan negara di tahun 1871 hingga 1876. Peraturan tersebut kembali disempurnakan di tahun 1913 bernama reglemen van het land Depok atau Regulasi Negara Depok. Dalam aturan itu disebutkan, masa kepemimpinan presiden yang hanya boleh memimpin selama tiga tahun.
Pemilihan presiden pertama Depok dilaksanakan pada 1913 dengan nama pemerintahan Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok. Pemilihan ini diadakan secara demokratis dan terpilih menjadi presiden pertama Depok adalah Gerrit Jonathans.
Pusat pemerintahannya berada di titik Kilometer 0 yang ditandai oleh Tugu Depok. Lalu didirikan gedung pemerintahan yang saat ini terbengkalai dan sempat difungsikan sebagai Rumah Sakit Harapan.
Setelah Gerrit Jonathans, terdapat tiga presiden yang memimpin, antara lain Martinus Laurens yang (1921), Leonardus Leander (1930), dan Johannes Matjis Jonathans (1952).
Kejayaan Negara Depok atau Desa Republik Depok perlahan mulai berakhir usai kemerdekaan Republik Indonesia. Berawal dari Depok yang tidak mengakui akan kemerdekaan Indonesia.
Walau tidak menyatakan resmi, penolakan Depok terlihat dari gaya hidup yang “sangat Belanda”, dari para bangsa yang dikenal dengan sebutan “Kaoem Depok” atau “Depok Dalem”.
Orang Depok memiliki gaya hidup layaknya orang Eropa dengan menggunakan bahasa Belanda dalam pergaulan sehari-hari. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal penyebutan Belanda-Depok.
Dikutip dari buku Gedoran Depok, karya Wenri Wanhar. Tahun 1945, terdapat berbagai gesekan yang mengakibatkan warga Indonesia mendesak Depok, karena masih ‘beraroma Belanda’ untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Terjadilah peristiwa Gedoran Depok yang merupakan sebuah titik penting dalam sejarah perjuangan pejuang Indonesia merebut Depok pada 11 Oktober 1945.
Terdapat kisah heroik tentang para pejuang, salah satunya Margonda yang saat ini dijadikan nama jalan protokol di Kota Depok.
Menurut dokumen dari Arsip Algemeen Secretarie Serie Grote Bundel 1942-1945 No.153, diakses dari Arsip Nasional Republik Indonesia, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin Urip Sumihardjo bersama pejuang Depok yang dipimpin Margonda menyerang orang Belanda-Depok yang dinilai tidak menginginkan kemerdekaan Indonesia.
Penyerangan terhadap orang Belanda-Depok oleh TKR ini kemudian berlanjut. Saat itu, untuk sementara TKR berhasil mengusir pasukan Sekutu, NICA yang melindungi orang Belanda-Depok.
Peristiwa Gedoran Depok justru membuat para pejuang dan rakyat tercerai berai. Padahal seharusnya bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan. Hal itulah yang membuat NICA kembali menyerbu dan menguasai Depok untuk membebaskan orang Belanda-Depok yang ditawan oleh TKR. Tawanan wanita dan anak-anak Belanda-Depok dibebaskan, dibawa ke kamp pengungsian di Kedunghalang, Bogor. Semenjak itu, kantor Gemeent Bestuur yang tadinya dijadikan markas TKR berubah menjadi markas NICA.
Pada 16 November 1945, para pejuang dan TKR melancarkan serangan besar-besaran ke Depok. Dalam serangan ini, para pejuang dan TKR berhasil kembali menguasai Depok, namun Margonda yang memimpin serangan gugur tertembak pasukan NICA.
Setelah mengalami berbagai peperangan dan teror di masa “Gedoran Depok”, pada 1952 para warga keturunan Belanda-Depok tersebut akhirnya menyerah dan bersedia bergabung, melebur menjadi satu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal itu disampaikan langsung presiden terakhir Depok, Johannes Matjis Jonathans.
Para warga Belanda-Depok kemudian mendirikan komunitas bernama Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC). Yayasan tersebut hingga kini menjadi perawat warisan berupa bangunan peninggalan Chastelein berupa gereja, sekolah, rumah tinggal dan pemakaman orang-orang Belanda-Depok yang banyak terdapat di kawasan Depok Lama di Kecamatan Pancoran Mas.
Hingga saat ini peringatan kemerdekaan Depok atau Depoksche Dag selalu dirayakan setiap 28 Juni di kawasan Depok Lama yang juga kerap dihadiri keturunan Chastelein dan tentara Belanda yang pernah bertugas di Depok serta orang keturunan Belanda-Depok yang bermukim di Belanda.
Adapun, Kota Depok yang sebelumnya hanyalah sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor, secara resmi berdiri pada 27 April 1999, setelah berubah status dari Kota Administratif menjadi Kotamadya yang memiliki 11 kecamatan dan 63 kelurahan dan dipimpin seorang Wali Kota yang dipilih secara langsung melalui proses demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) setiap lima tahun sekali. (Rusdy Nurdiansyah)