Home > Nasional

Kaesang Dituding Bagian Politik Dinasti, Apa Bedanya dengan PKS di Depok

Pro dan kontra pun bermunculan dan berspekulasi Kaesang akan jadi calon Wali Kota Depok.
Salah satu baliho Kaesang jadi Calon Wali Kota Depok di Jalan Margonda Raya, Kota Depok.

ruzka.republika.co.id--Dalam sebulan ini, Kota Depok dihebohkan dengan kemunculan sosok Kaesang Pangarep. Putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini menjadi perbincangan di setiap sudut kota karena bertebaran baliho dan spanduk sebagai calon Wali Kota Depok.

Kaesang pun telah secara resmi mengeluarkan pernyataan, mendapat restu orang tua dan keluarga menjadi Depok pertama. Sontak, nama Kaesang jadi trading di mesin pencarian google. Bahkan, nama Kaesang melejit tidak hanya diperbincangkan di level Kota Depok saja, tapi juga di level nasional dan internasional. Media asing pun menurunkan tulisan terkait Kaesang, salah satunya The Straits Time/ANN.

Pro dan kontra pun bermunculan dan berspekulasi Kaesang akan benar-benar menjadi calon Wali Kota Depok di Pilkada yang pelaksanaan pada November 2024 mendatang.

Yang pro, menyambut dengan antusias cukup tinggi kalau Kaesang mampu membuat perubahan besar bagi pembangunan di Kota Depok yang dinilai berjalan di tempat selama 20 tahun kekuasaan dipegang PKS. Kaesang dinilai akan mampu meruntuhkan dominasi PKS di Kota Depok.

Yang kontra, menilai Kaesang tidak memiliki kemampuan dan kapasitas, bukan orang Kota Depok, popularitasnya karena anak Presiden Jokowi dan dianggap merusak demokrasi, karena bagian dari politik dinasti.

Sekretaris Partai Gerindra Kota Depok, Hamzah menilai keinginan Kaesang jadi Wali Kota Depok bukanlah bagian dari dinasti kekuasaan, karena merupakan kehendak sendiri dan juga harus dilalui dengan proses Pemilu.

"Jika Kaesang terpilih jadi Wali Kota Depok itu merupakan proses Pemilu, pilihan rakyat. Bukan ditunjuk bapaknya atau meneruskan kekuasaan bapaknya. Mungkin seperti Gibran yang jadi Wali Kota Solo, bisa dibilang meneruskan dinasti bapaknya," ujar Hamzah, Ahad (18/06/2023).

Lanjut Hamzah, keinginan Kaesang bersaing memperebutkan kursi Wali Kota Depok akan menjadi menarik dan bergairah dalam Pilkada Kota Depok 2024 mendatang. Tentu, Kaesang tak akan mudah menang di daerah yang selama 20 tahun dikuasai PKS.

"Kaesang seperti masuk di hutan belantara. Serangan negatif terhadap Kaesang pun bermunculan, menolak kehadirannya. PKS seperti ketakutan hilang kekuasaannya di Kota Depok dan mulai memunculkan serangan, terutama mengumbar jargon Kaesang bagian dari politik dinasti," tuturnya.

Terkait politik dinasti, Hamzah justru mengkritisi PKS Kota Depok. Apa bedanya dengan PKS Kota Depok? Calegnya, ada Istri Wali Kota Depok, Elly Farida (Caleg DPRD Provinsi Jabar), anak Wakil Wali Kota Depok, M Faruq (Caleg DPRD Kota Depok), Istri dan anak mantan Wali Kota Depok yang juga pendiri PKS Nur Mahmudi Ismail yakni Nur Azizah Tamhid (Caleg DPR RI) dan Abiir Mahmudi Ismail (Caleg DPRD Provinsi Jabar).

"Ini seperti maling teriak maling, coba cek Caleg PKS Kota Depok, ada istri, ada anak ada keponakan. Mungkin partai lain juga sama, tapi nggak teriak-teriak antipolitik dinasti," ungkapnya.

Ia juga mengingatkan ke Elly Farida yang merupakan istri Wali Kota Depok, Mohammad Idris agar tidak memanfaatkan sebagai Ketua PKK Kota Depok dengan penggunaan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk berkampanye.

"Saya berharap Bu Elly paham dengan aturan dan tak melakukan pelanggaran serius, terutama memanfaatkan dana APBD dan kegiatan PKK untuk berkampanye. Saya percaya Bu Wali paham aturan," terang Hamzah.

Wartawan senior yang juga pengamat politik, Syahruddin El Fikri mengatakan, bagi sebagian orang, politik itu menjanjikan. Ada suami jadi pejabat publik (menteri, gubernur, walikota, bupati), istri dan anak juga didorong untuk terjun ke politik.

"Akhirnya jadi seperti yang banyak kita lihat saat ini, termasuk di Kota Depok. Pasca suami tak menjabat, pasangan atau keluarga didorong untuk menggantikan posisi politiknya. Ini terbukti di semua partai politik. Kalau bisa, seluruh anggota keluarga terjun ke politik, karena syahwat kekuasaan dalam pandangan mereka begitu menggiurkan, walau bagi sebagian orang menjijikkan. Karena 'syahwat' ini pula, keluarga pun yang berbeda pandangan, akan menjadi musuh," jelasnya.

Menurut Syahruddin, mungkin akan menarik juga membaca analis dari Werther (1997) tentang krisis kepercayaan rakyat terhadap elite partai politik (parpol). Ada enam masalah yang ditunjukkan parpol sehingga membuat rakyat tak lagi percaya dengan elite.

"Yang pasti, parpol juga harus siap ditinggal pemilih atau rakyat jika elitenya tidak mengayomi rakyat, atau hanya memanfaatkan pemilih saat pemilu dan setelahnya ditinggal," tegasnya. (Rusdy Nurdiansyah)

× Image