Senator Nilai Ketergantungan Fiskal Daerah kepada Pemerintah Pusat Masih Kuat

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK – Dalam dua tahun implementasi Implementasi UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), hubungan fiskal antara pusat dan daerah menunjukkan kemajuan, tetapi juga menyisakan sejumlah tantangan. Hal itu diungkapkan Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris menanggapi turunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) di beberapa provinsi.
Menurut Senator Jakarta ini, realisasi transfer ke daerah (TKD) masih mendominasi komposisi APBD di sebagian besar wilayah, sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru mengalami penurunan di beberapa provinsi. Capaian PAD sampai dengan akhir September 2025 itu turun 10,86% (yoy) dibandingkan September 2024 yakni Rp284,22 triliun, menandakan masih kuatnya ketergantungan fiskal daerah pada pemerintah pusat.
“Kondisi ini berimplikasi langsung terhadap kualitas pelayanan publik dan daya saing ekonomi daerah. Ketika kapasitas fiskal lemah, maka belanja publik daerah sering sekali bersifat jangka pendek dan kurang produktif. Sebaliknya, daerah yang memiliki tata kelola fiskal baik, daerah mulai menunjukkan kemajuan pesat karena investasi dan TKD dapat diserap lebih cepat dan efisien,” ujar Fahira Idris, Selasa (04/11/2025), mengomentari Rapat Kerja Komite IV DPD RI dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (03/11/2025).                            
                            
Fahira Idris mengungkapkan, setidaknya, ada sejumlah langkah strategis yang dapat ditempuh untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah agar kebijakan fiskal nasional benar-benar menjangkau seluruh pelosok negeri.
Pertama, penguatan sinergi fiskal pusat–daerah menghadapi problem utama yang masih dihadapi berupa ketidaksinkronan antara prioritas nasional dan daerah, terutama karena perbedaan kalender perencanaan APBN dan APBD, serta keterlambatan terbitnya petunjuk teknis (juknis) di awal tahun. Akibatnya, penyerapan TKD sering menumpuk di triwulan terakhir dan berujung pada tingginya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa). Untuk itu, perlu forum koordinasi reguler antara Kemenkeu, Kemendagri, Bappenas, dan DPD RI, agar komunikasi dan sinkronisasi belanja prioritas dapat dilakukan sejak tahap perencanaan.
“Forum ini dapat memastikan setiap kebijakan nasional, termasuk pengurangan atau realokasi TKD, tidak menimbulkan ketidakseimbangan fiskal di daerah. Dengan demikian, belanja pemerintah pusat dan daerah dapat berjalan beriringan menuju tujuan pembangunan yang sama,” jelasnya.
Kemudian insentif berbasis kinerja daerah di mana keadilan fiskal bukan hanya soal pembagian dana, tetapi juga penghargaan terhadap daerah yang bekerja dengan transparan dan akuntabel. Saat ini, daerah dengan kinerja penyerapan dan tata kelola baik belum seluruhnya mendapat insentif fiskal yang layak, sehingga pemerintah pusat perlu memperluas skema performance-based grant, yakni insentif berbasis kinerja yang diberikan kepada daerah yang berhasil mengelola keuangannya secara efisien dan transparan.
Demikian pula dengan Digitalisasi dan Integrasi Data Fiskal Nasional. Kesenjangan data antara pusat dan daerah masih menjadi hambatan utama hubungan fiskal.
Banyak kebijakan sulit dievaluasi karena data keuangan belum terhubung secara terpadu. Pemerintah perlu segera membangun fiscal data warehouse nasional yang mengintegrasikan data DJPK, BPKP, dan pemerintah daerah secara real time.
Sistem ini akan memperkuat transparansi, mempercepat pengawasan, serta meminimalkan selisih dan kebocoran anggaran. Dengan data yang terintegrasi, kebijakan fiskal dapat diambil lebih cepat dan berbasis bukti.
Lalu reformasi pengawasan terpadu dan lintas sektoral dengan tata kelola fiskal yang baik memerlukan pengawasan yang terkoordinasi. Saat ini, fungsi pengawasan masih tersebar di banyak lembaga, sementara kapasitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) daerah belum merata.
Diperlukan mekanisme pengawasan lintas pusat–daerah yang terpadu, di bawah lembaga independen yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Langkah ini akan mempercepat tindak lanjut audit, memperkuat transparansi, dan memastikan setiap rupiah anggaran dikelola secara akuntabel sesuai semangat UU HKPD.
Terkait Percepatan Regulasi Teknis dan Juknis TKD, keterlambatan penerbitan juknis TKD di awal tahun kerap menghambat penyerapan anggaran daerah. Padahal, percepatan penyaluran TKD sejak triwulan pertama dapat menjadi stimulus penting bagi ekonomi lokal.
“Pemerintah perlu memastikan seluruh juknis rampung sebelum tahun anggaran dimulai serta menyediakan helpdesk teknis cepat untuk membantu daerah mengatasi kendala administrasi. Dengan langkah sederhana namun konsisten ini, belanja publik bisa lebih cepat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” pungkas Fahira Idris. (***)
              
                                