Jamiluddin Ritonga: Kabinet Merah Putih Sering Reshuffle, Kapan Menterinya Bekerja?

RUZKA–REPUBLIKA NETWORK – Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta, M Jamiluddin Ritonga, kembali menyoroti reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto yang dalam waktu satu tahun sudah melakukannya sebanyak empat kali. Kali ini ada dua wakil menteri yang dilantik, yaitu Akhmad Wiyagus sebagai Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) dan Benjamin Paulus Octavianus yang menjabat Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes).
Menurut Jamil, reshuffle kali ini mengesankan kabinet Prabowo semakin gemuk, khususnya dengan bertambahnya jabatan wakil menteri. Hal ini mengesankan kurang sejalan dengan kebijakan efisiensi yang diambil Prabowo.
"Dengan banyaknya menteri dan wakil menteri, tentu akan semakin membebani APBN. Anggaran untuk kegiatan rutin, khususnya untuk menteri dan wakil, dengan sendirinya akan bertambah. Selain itu, penambahan wakil menteri tidak jelas urgensinya. Sebab, di setiap kementerian sudah ada sekjen dan dirjen yang dapat melaksanakan fungsi dan tugas wakil menteri," ungkap Jamil kepada RUZKA INDONESIA, Kamis (09/10/2025) pagi.
Menurut Jamil, tanpa wakil menteri, sebenarnya fungsi dan tugas kementerian dapat dilaksanakan oleh sekjen dan dirjen dengan baik. Para sekjen dan dirjen dapat membantu menteri dalam melaksanakan semua program yang ditetapkan presiden.
Jamil juga mengingatkan, tugas sekjen dan dirjen akan dapat terlaksana dengan baik bila yang diangkat memang memiliki integritas dan kompetensi. Dengan begitu, setìap kementerian tidak memerlukan wakil menteri.
"Lagi pula kehadiran wakil menteri dapat memunculkan persaingan tidak sehat dengan sang menteri. Hal ini membuka ruang tidak kondusifnya di suatu kementerian, termasuk kemungkinan adanya matahari kembar," tandas mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.
Situasi demikian, lanjutnya, tentu sulit meningkatkan kinerja suatu kementerian. Sebab, sekjen dan dirjen bisa saja sulit bekerja maksimal karena berhadapan dengan matahari kembar.
Selain itu, terlalu sering reshuffle juga tidak baik, karena setiap mau ada reshuffle dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi semua menteri dan wakil menteri. Hal ini dapat juga membuat para menteri setiap saat takut di-reshuffle sehingga sulit menunjukkan kinerja maksimal.
"Terlalu sering reshuffle mengindikasikan kurang selektifnya saat memilih menteri dan wakil menteri. Akibatnya, presiden tidak puas kinerja menteri dan wakil menterinya yang berujung reshuffle. Celakanya, kalau terlalu sering reshuffle, kapan menteri dan wakil menterinya bekerja? Mereka belum lama bekerja sudah di-reshuffle. Hal ini dapat mengesankan kabinet tidak kondusif," pungkas Jamil. (***)