"Purbayanomics" (2): Pemberontakan Ala Purbaya, Rekonstruksi Ekonomi Nasional

RUZKA–REPUBLIKA NETWORK – Benar-benar “memberontak”. Itulah sikap Purbaya Yudha Sadewa setelah dilantik menjadi Menteri Keuangan RI, di Istana Merdeka, per 8 September lalu. Pasalnya, Purbaya harus melakukan rekonstruksi ekstrem terhadap kondisi dan sistem ekonomi yang cukup parah akibat miss-management keuangan negara selama sepuluh tahuh lebih. By design? Tampaknya begitu. Waduuuhhhh.
Tindakan ekstrem terpaksa harus dilakukan. Untuk segera mengatasi problem ekonomi yang sudah super akut. Demi menyelamatkan negara yang sudah di tepi jurang. Bahkan, sebenarnya sudah ada di dalam jurang. Juga, demi kepentingan rakyat yang sudah cukup lama tercekik ekonominya. Terbelenggu dengan kemiskinan akut.
Banyak sektor yang harus dibenahi secara ekstrem, meski harus menghadapi kekuatan raksasa, dari elemen internal pemerintahan, termasuk mitra kerjanya (lembaga parlemen) ataupun eksternal: oligarki dan jaringan mafianya.
Seperti kita ketahui, Purbaya hadir sebagai pejabat tinggi negara (Menteti Keuangan) usai gejolak politik 26–30 Agustus lalu. Data bicara, gejolak ini diawali dengan kebijakan perpajakan yang hiperbolik, sangat mencekik rakyat. Dan kebijakan itu telah mendorong perlawanan rakyat dari berbagai daerah. Kebijakan itu pula yang kemudian mendorong para penumpang gelap dalam upaya menggulingkan Pemerintahan Prabowo.
Maka, kita saksikan, Purbaya langsung mengoreksi kebijakan pajak. Ada beberapa langkah yang dilakukan secara cepat. Pertama, menganulir kebijakan PBB Perkotaan dan Pedesaan yang sangat tidak rasional prosentasenya, apalagi diterapkan di masa ekonomi nasional yang belum pulih atau normal. Langkah ini langsung meredam gejolak rakyat. Ada rasa pembelaan dari Menteri Keuangan yang baru.
Kedua, menertibkan petugas pajak. Selama ini, terjadi perilaku petugas pajak yang kongkalikong dengan pembayar wajib pajak. Kita ketahui, persekongkolan pajak itu mengakibatkan pendapatan pajak hanya sebagian kecil yang sampai ke kas negara. Jumlah angka pendapatan pajak justru masuk ke kantong para petugas pajak. Itulah sebabnya, Purbaya – tanpa ragu dan harus tega – menertibkan 26 petugas pajak. Tak bisa dipungkiri, permainan nakal petugas pajak ini menjadikan penerimaan pajak selalu kontraktif dari tahun ke tahun. Kontraksi ini juga berdampak kontiogion lebih jauh: ketidakpercayaan publik dalam membayar pajak.
Yang ketiga dan hal ini jauh yang sangat menggegerkan, sekaligus membuat rakyat melongo dan geram. Yaitu, sebagian besar penerimaan pajak diendapkan di Bank Indonesia (BI). Nilainya – setidaknya untuk periode 2025 – mencapai kisaran Rp 450 triliun.
Perlu kita catat, pengendapan dana penerimaan pajak di BI tak akan mungkin terjadi tanpa instruksi Menteri Keuangan. Karena itu, ketika Purbaya datang dan membuka posisi keuangan negara diendapkan di BI itu menjadikan rakyat geleng kepala: betapa teganya instruksi itu.
Apa maksud di balik upaya pengendapan dana itu, padahal – dalam masa bersamaan – RI sedang diperhadapkan pembayaran bunga utang luar negeri (ULN) sebesar Rp 552,85 triliun. Apakah “agen globalis” ini sedang merancang ULN baru ke Bank Dunia? Biar, Indonesia tetap dalam jeratan ketergantungan ke sejumlah negara debitur? Biar, Indonesia tetap dalam cengkeraman pengaruh negara-negara debitur? Agar, politik luar negeri Indonesia tetap dalam pengaruh asing (para debitur)? Wow Picik dan culas sekali.
Yang lebih menggeregetkan lagi, pengendapan itu mengakibatkan program pembangunan ekonomi mikro terkendala serius. Para pelaku ekonomi level menengah ke bawah terus diperhadapkan keterbatasan produksi. Akibatnya, bukan hanya mereka tersendat-sendat kegiatan ekonominya. Tapi, masyarakat luas pun merasakan seret sirkulasi ekonominya.
Bagaimana mungkin, keterbatasan uang edar (M1) itu akan mampu menumbuhkan perekonomian lebih dari 6%? Dan secara spesifik, bagaimana mungkin, kesejahteraan rakyat akan terdongkrak naik? Sebuah pertanyaan mendasar, apakah kebijakan ekonomi masa lalu memang sengaja mendesain kemelaratan rakyat secara permanen? Wow, di mana nurani kerakyatannya?
Mencermati potret ekonomi yang menyedihkan, maka pantaslah Purbaya menyampaikan catatan, “Perekonomian zaman SBY jauh lebih bagus dibanding masa Jokowi”. Pernyataan Purbaya jelaslah bukan sikap sentimen personal, tapi based on data faktual.
Yang lebih substansial, kritik itu menggerakkan Purbaya segera mengeluarkan kebijakan alokasi anggaran untuk penguatan ekonomi mikro dan koperasi. Purbaya instruksikan BI mencairkan sekitar Rp 200 triliun (tahab pertama) dan di-posting ke tujuh bank penyalur kredit atau pembiayaan. Dan telah disiapkan periode berikutnya: Rp 250 triliun.
Sangat boleh jadi, tujuh bank penyalur akan gelagapan untuk memfasilitasi para pelaku ekonomi. Wilayah teknis ini bukanlah tupoksi Kementerian Keuangan. Jika ketujuh bank tetap enggan menjalankan peran dan fungsinya sebagai the agent of development, maka perlu dipertanyakan kualitas profesionalismenya, bahkan integritasnya selama ini terhadap pelaku ekonomi menengah ke bawah dan koperasi.
Sekali lagi, jika enggan menyalurkan kredit atau pembiayaan terhadap pelaku menengah ke bawah dan koperasi dengan alasan kuantitas, maka bank itu menunjukkan sikap pemalasnya. Tapi, tak sekadar itu. Negara wajib mencurigai adanya ketidakberpihakan bank terhadap para pelaku ekonomi kelas menengah, apalagi ke bawah dan koperasi yang jumlahnya memang jutaan. Karena faktor kuantitas inilah, bank patut diduga hanya melayani debitur kakap.
Harus kita garis-bawahi secara ekstrem, keberpihakan bank terhadap pelaku ekonomi debitur kakap bisa dinilai meloyokan posisi ekonomi nasional. Bisa dinilai melawan kebijakan negara. Sekaligus, juga bisa dinilai membunuh UMKM yang berjumlah 65,5 juta unit, padahal mereka menyumbang sekitar 61,9% terhadap Produk Domestik Bruto. UMKM juga menyerap lebih dari 119 juta tenaga kerja (sekitar 97%) dari total angkatan kerja nasional. Sungguh biadab jika bank hanya berpihak pengusaha papan atas saja.
Sekali lagi, keberpihakan bank terhadap debitur kakap jelaslah paradok dengan visi pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan pemerataan kemakmuran sesuai konstitusi. Juga, jauh dari kerangka pembangunan fundamental ekonomi yang kokoh. Bank-bank penyalur yang culas layak kita narasikan sebagai pembangkang konstitusi dan peroboh pilar-pilar ekonomi nasional. Bahkan, layak juga dicap sebagai pengkhianat bangsa dan negara. Karenanya, layak dicabut izin operasionalnya. Sok terapi ini penting diterapkan.
Memang, kucuran dana triliunan tak akan lepas dari sistem kontrol yang kuat. Perlu dicatat, controlling system menjadi bagian pertanggungjawaban tugas, terhadap negara dan rakyat, bahkan terhadap Allah. Sebagai insan agamis, maka kebijakan Purbaya tak akan lepas dari komitmen teologis. Maka, sistem kontrol terhadap kinerja perbankan penyalur untuk pembangunan ekonomi mikro dan koperasi bagian dari artikulasi rasa takwanya. Minimal takut pada ancaman-Nya kelak di akherat.
Akhirnya, kita bisa mencatat, Purbaya memang harus galak, tegas, tak boleh berkompromi dengan para bandit ekonomi manapun. Agar – secara mekanistik dan terencana – akan hadir sebuah potret keadilan ekonomi yang merata. Agar tercipta “pemandangan rakyat yang makmur. Kaya bersama. Bukan, hanya kalangan tertentu seperti yang kita saksikan selama puluhan tahun”. Inilah di antara percikan pemikiran Purbayanomics yang perlu kita kawal. Tidak hanya kebijakannya, tapi juga pribadi dan keluarganya dari potensi penjahat yang siap menerkam keselamatan jiwanya.
Bandung, 28 Oktober 2025
Agus Wahid
Analis Politik dan Pembangunan
(Catatan serial kedua "Purbayanomics")
(***)
