Home > Mancanegara

Israel Semakin Brutal, Warga Gaza City Dipaksa Mengungsi ke Selatan

Otoritas Pertahanan Sipil Gaza memperingatkan bahwa banyak orang yang terjebak karena luka-luka, penyakit, atau usia, sehingga membahayakan nyawa mereka.
Foto: Reuters
Foto: Reuters

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK--Mohammed Abu Rizq (45), warga Gaza City yang kehilangan rumahnya di lingkungan Shuja'iyya beberapa bulan yang lalu, bersiap-siap mengungsi ke selatan karena serangan udara Israel yang gencar terus berlanjut di seluruh kota itu, dengan harapan dapat menemukan tempat yang lebih aman.

Tinggal bersama keluarganya di sebuah tenda di sekolah Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina di Kawasan Timur Tengah (UNRWA) di Gaza City barat, Abu Rizq menyebut bahwa serangan udara yang tak henti-hentinya terjadi sepanjang siang dan malam yang membuat kelima anaknya ketakutan.

Namun dia mengakui bahwa tidak ada tujuan yang jelas. "Meninggalkan Gaza City, tempat kami dilahirkan, seperti jiwa meninggalkan raga," katanya. "Kami akan pergi ke tempat baru di mana kami tidak tahu apakah ada tempat tinggal, makanan, atau kebutuhan dasar untuk bertahan hidup."

Selama berpekan-pekan, Gaza City, daerah dengan populasi paling tinggi di daerah kantong tersebut, telah menjadi sasaran pengeboman. Lingkungan permukiman, pasar, dan fasilitas umum rusak parah.

Militer Israel telah berulang kali mendesak penduduk Gaza untuk pindah, dengan juru bicaranya, Avichay Adraee, mengatakan bahwa lebih dari 250.000 orang telah meninggalkan kota itu, seraya menggambarkan kota itu sebagai "zona tempur yang berbahaya."

Tetapi bagi banyak orang, pengungsian harus dibayar dengan harga yang begitu mahal.

Mohammed Omar (38), seorang ayah tiga orang anak, menghabiskan waktu 10 jam untuk mencapai wilayah Al-Masha'la di Deir al-Balah, di mana dia harus menyewa sebidang tanah tandus seluas 150 meter persegi dengan biaya 250 dolar AS per bulan untuk mendirikan tenda.

Perjalanan itu sendiri menghabiskan biaya tambahan sebesar 500 dolar AS. "Tidak ada kebutuhan dasar kehidupan di sini," katanya. "Tidak ada air, tidak ada listrik, tidak ada makanan, dan tidak ada yang bisa melindungi kami dari teriknya matahari."

Organisasi-organisasi lokal dan internasional telah menyuarakan keprihatinan yang semakin meningkat atas situasi kemanusiaan yang memburuk di wilayah tersebut. Otoritas Pertahanan Sipil Gaza memperingatkan bahwa banyak orang yang masih terjebak karena luka-luka, penyakit, atau usia, sehingga membahayakan nyawa mereka.

"Proses pengungsian tidak dapat diakses oleh semua orang, dan mereka yang ditinggalkan terekspos pada bahaya besar," kata Mahmoud Basal, juru bicara otoritas itu, kepada Xinhua.

UNRWA juga telah meningkatkan kewaspadaan terhadap beban pada fasilitas-fasilitasnya. Badan tersebut melaporkan bahwa ribuan warga Palestina meninggalkan Gaza City dengan berjalan kaki karena kurangnya transportasi dan bahan bakar, dan tempat perlindungan mereka kewalahan, dengan kepadatan yang menyebabkan kekurangan air bersih, makanan, dan sanitasi. Kondisi seperti itu sangat rentan terhadap wabah penyakit.

Pada saat yang sama, tentara Israel terus melanjutkan bombardirnya, dan pada Senin tersebut menghancurkan sebuah menara media komersial 16 lantai di Gaza City barat setelah meratakan puluhan bangunan dalam beberapa hari terakhir.

Menara al-Ghifari, yang dianggap sebagai salah satu pusat komersial dan media paling terkemuka di kota itu, menjadi rumah bagi beberapa kantor dan institusi media.

Serangan tanpa henti Israel telah menewaskan sedikitnya 34 orang dalam 24 jam terakhir, sebagian besar di Gaza City, menurut otoritas kesehatan Gaza yang dikelola Hamas. Jumlah tersebut menjadikan total korban tewas akibat serangan Israel sejak Oktober 2023 bertambah menjadi 64.905 orang, kata otoritas itu.

Meskipun terdapat berbagai risiko, beberapa keluarga memilih untuk tetap tinggal. Salah satunya adalah Suhaila Ishtiwi (55), yang berlindung bersama anak-anak dan kerabatnya di Gaza barat.

"Bagi kami, mengungsi dan meninggalkan Gaza City adalah perjalanan menuju kematian," katanya sambil memanggang roti di oven darurat. "Ke mana kami bisa pergi? Tidak ada tempat perlindungan, kami tidak punya tenda, dan kami tidak mampu membayar biaya untuk mengungsi."*

× Image