Ekosistem Buku dan Minat Baca Masih Jadi Tantangan, Sensator Fahira Idris Paparkan 4 Strategi

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris berharap peringatan Hari Buku Nasional setiap 17 Mei menjadi momentum reflektif untuk menakar posisi Indonesia dalam lanskap perbukuan dan literasi.
Walau sudah lebih dari dua dekade diperingati (sejak 2002), ekosistem buku nasional masih menghadapi tantangan struktural yang serius yaitu akses yang timpang, harga buku yang tinggi, budaya membaca yang lemah, dan pembajakan yang merajalela.
“Indonesia tidak kekurangan penulis berbakat atau penerbit progresif, yang kurang adalah ekosistem yang sehat dan keberpihakan yang nyata dari semua pihak. Saatnya kita geser buku dari rak pajangan ke ranah tindakan yaitu dengan membacanya, membagikannya, dan menghidupkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sudah saatnya kita jadikan buku menjadi garda depan pembangunan karakter bangsa,” ujar Fahira Idris di Jakarta Ahad (18/05/2025).
Baca juga: Catatan Cak AT: 'Conclave': Ketika Politik Masuk Surga di Kapel Sistina
Senator Jakarta yang juga pemerhati pendidikan ini mengungkapkan, minat baca masyarakat Indonesia sesungguhnya ada, tetapi kerap terhambat oleh faktor ekonomis dan struktural. Buku dianggap barang mahal.
Di saat yang sama, daya beli masyarakat tidak menunjukkan peningkatan yang sepadan. Kebijakan perpajakan seperti pembebasan PPN untuk buku pendidikan juga belum tersosialisasi optimal.
Tantangan lainnya adalah tingkat literasi yang masih jauh dari harapan. Peringkat PISA Indonesia pada tahun 2022 berada di posisi ke-69 dari 80 negara. Sistem pendidikan yang belum menjadikan membaca sebagai aktivitas reflektif, serta kurangnya contoh dari lingkungan keluarga, turut menyumbang rendahnya literasi.
Baca juga: Gunakan Visa Kerja untuk Berhaji, 117 WNI Ditolak Masuk Arab Saudi
“Padahal, membaca bukan hanya soal menambah informasi, melainkan membentuk pola pikir formatif, reflektif, dan kreatif. Tiga kemampuan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi era disrupsi dan banjir informasi seperti saat ini,” ungkap Fahira.
Selain itu, era digital membawa ancaman besar berupa pembajakan. Buku bajakan beredar bebas di marketplace dan grup daring, menyaingi buku asli dengan harga yang jauh lebih murah. Akibatnya, penulis dan penerbit kehilangan insentif untuk berkarya, dan pembaca tidak terbiasa menghargai proses intelektual di balik sebuah buku.
Menghadapi kompleksitas ini, menurut Fahira Idris, diperlukan pendekatan sistemik dan kolaboratif. Setidaknya ada empat strategi yang bisa ditempuh. Pertama, reformasi pajak buku yang holistik.
Baca juga: Mabes Polri Jamin Keamanan, Imbau Warga Tak Ragu Laporkan Premanisme
Pemerintah perlu memperjelas definisi teknis buku yang bebas PPN, memperluas cakupannya termasuk buku anak-anak dan buku kreatif. Sosialisasi ke pemangku kepentingan perpajakan dan lembaga pemerintah harus ditingkatkan agar tidak terjadi kebingungan implementasi di lapangan.
Kedua, digitalisasi yang progresif dan aman. Penerbit perlu menggandeng pengembang teknologi untuk menciptakan format e-book yang interaktif, edukatif, dan aman dari pembajakan. Pemerintah dapat memberi insentif bagi pelaku industri yang mengembangkan kanal distribusi digital lokal yang kredibel.
Ketiga, gerakan literasi terpadu berbasis komunitas dan keluarga. Literasi tidak bisa hanya dibebankan pada sekolah. Keluarga harus menjadi role model, komunitas harus diberdayakan, dan fasilitas publik seperti taman bacaan serta perpustakaan desa perlu dihidupkan kembali dengan dukungan konten yang relevan.
Baca juga: Atasi Kemacetan, Pemkot Depok Segera Perlebar Jalan Raya Sawangan
Keempat, subsidi silang dan program “Satu Rumah, Satu Buku per Bulan”. Model subsidi silang dapat diterapkan, di mana pembelian buku premium menyubsidi buku murah untuk daerah marginal. Inisiatif program nasional seperti “Satu Rumah, Satu Buku per Bulan” dapat menjadi stimulus untuk menanamkan kebiasaan membaca sejak dini.
“Saya berharap peringatan Hari Buku Nasional tahun ini bukan sekadar seremoni, tetapi jadi momentum menggerakkan transformasi budaya di tengah masyarakat yang masih lemah dalam tradisi membaca. Di tengah arus digital dan gempuran budaya instan, buku harus diletakkan sebagai instrumen perubahan sosial, pemantik daya pikir kritis, dan pembentuk karakter bangsa, bukan sebagai barang mewah yang hanya bisa diakses kalangan tertentu,” jelas Fahira (***)