Home > Nasional

Soal Tawuran, Anggota DPD RI Fahira Idris Tawarkan 7 Langkah Konkret

Oleh karena itu, perlu langkah strategis dan solusi konkret untuk mencegah tawuran berkembang menjadi persoalan sosial yang akut.
Spanduk bertuliskan Stop Tawuran. (Foto: Dok REPUBLIKA) 
Spanduk bertuliskan Stop Tawuran. (Foto: Dok REPUBLIKA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris menyoroti persoalan tawuran yang terus berulang di Jakarta dan di beberapa daerah lain di Indonesia.

Menurutnya, konflik terbuka antar kelompok baik itu pemuda, pelajar, bahkan antarwarga tidak hanya memakan korban luka dan jiwa, tetapi juga menebar rasa takut serta merusak tatanan sosial masyarakat.

Oleh karena itu, perlu langkah strategis dan solusi konkret untuk mencegah tawuran berkembang menjadi persoalan sosial yang akut.

Baca juga: DPR RI Minta Satgas Antipremanisme Tindak Tegas Preman Berkedok Wartawan

“Mengatasi tawuran harus melibatkan pendekatan holistik. Jadi tidak sekadar represif, tetapi juga preventif dan partisipatif. Kita juga harus gali akar masalahnya yang juga kompleks karena pertemuan antara beberapa kondisi yakni ketimpangan sosial, pengangguran, lemahnya peran keluarga dan lingkungan, serta absennya ruang ekspresi yang sehat terutama bagi anak muda,” ujar Fahira Idris dalam keterangan yang diterima, Senin (12/05/2025).

Senator Jakarta ini mengungkapkan, setidaknya ada tujuh langkah konkret yang bisa ditempuh untuk mengatasi persoalan tawuran. Pertama, revitalisasi peran RT/RW dan masyarakat.

Idealnya RT/RW bukan sekadar struktur administratif, tetapi harus dihidupkan kembali sebagai penjaga sosial. Program pelatihan mediasi konflik, serta insentif bagi RT/RW yang berhasil menjaga wilayahnya dari konflik, harus digencarkan.

Baca juga: Anggota DPD RI Fahira Idris Dukung Pramono Bangun Banyak Rusun, Dorong 6 Strategi

Kedua, membangun pusat komunitas remaja di “zona merah”. Pemerintah daerah perlu memperbanyak Youth Center di wilayah rawan tawuran sebagai wadah anak muda dan warga mengekspresikan diri melalui seni, olahraga, digital kreatif, atau kewirausahaan.

Fahira Idris mencontohkan keberhasilan Violence Reduction Unit (VRU) di Glasgow yang dibentuk pada 2005 oleh Kepolisian Skotlandia untuk mengatasi kekerasan, khususnya geng, dengan pendekatan kesehatan masyarakat.

Program yang melibatkan polisi, sekolah, lembaga sosial, dan komunitas untuk melakukan intervensi dini, pendidikan, dan rehabilitasi pelaku ini berhasil menurunkan tingkat kekerasan di Glasgow lebih dari 50% dalam satu dekade. Model VRU ini kemudian menjadi inspirasi global, termasuk di London dan beberapa kota di Amerika.

Baca juga: Seperti Ngeledek KDM, Sekolah Ini Jutru Study Tour ke 5 negara di Eropa

Ketiga, perluasan program magang, pelatihan keterampilan, dan kerja sama dengan industri lokal. Langkah ini dapat memberikan jalan karir yang jelas. Anak muda perlu melihat bahwa ada masa depan yang menantang sehingga tawuran tidak lagi menjadi hal yang layak dilakukan.

Keempat, ekstrakurikuler yang fleksibel. Fahira Idris mendorong kegiatan sekolah di luar jam pelajaran lebih fleksibel dan sesuai minat serta tidak terbatas pada aktivitas klasik misalnya olahraga, tetapi juga pilihan lain misalnya musik, memasak atau e-sport untuk menyalurkan energi sekaligus membentuk identitas positif bagi pelajar.

Kelima, patroli terpadu dan sistem deteksi dini. Kepolisian bersama Satpol PP, pihak sekolah dan tokoh masyarakat bisa membentuk sistem deteksi dini berdasarkan laporan sosial, pergerakan di media sosial, dan pola-pola provokasi daring. Efektivitas mengatasi tawuran sangat bergantung pada upaya pencegahan, bukan tindakan represif setelah tawuran terjadi.

Baca juga: Sejarah Makmurkan Masjid Al Muqorrobin Perumnas Depok Utara, Berkembang Miliki SDIT/SMPIT

Keenam, kampanye digital melawan narasi kekerasan. Pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan influencer lokal dan alumni mantan pelaku tawuran yang sudah sadar untuk membuat kampanye naratif melawan tindak dan perilaku kekerasan. Youtube, TikTok, Instagram dan platform lain bisa menjadi alat edukasi yang efektif

Langkah konkret ketujuh adalah rehabilitasi dan reintegrasi. Pelaku tawuran yang tertangkap tidak cukup dihukum, tetapi juga harus mengikuti program konseling, pelatihan kerja, dan rekonsiliasi sosial.

Kota Cali, Kolombia, bisa dijadikan referensi atas keberhasilan “Programa de Paz” yang fokus pada pelibatan masyarakat, mediasi konflik, dan pemberdayaan ekonomi di daerah rawan kekerasan.

Baca juga: Catatan Cak AT: KPU Biang Kasus Ijazah Palsu

Di Kota ini, sambung Fahira Idris, pemerintah lokal bekerja sama dengan NGO dan tokoh masyarakat menciptakan zona damai dan memberikan akses pendidikan serta pelatihan kerja bagi pemuda rentan. Hasilnya, tingkat kekerasan berkurang signifikan dalam beberapa tahun.

“Jadi keseriusan pemerintah daerah dalam menindak tegas para pelaku tawuran harus diimbangi dengan keberanian menyelami akar-akar sosial yang membuat kekerasan menjadi pilihan.Pencegahan harus sistemik dan berbasis data, komunitas dan keterlibatan aktif masyarakat. Jika tidak, tawuran akan terus menjadi siklus kekerasan,” pungkas Fahira Idris. (***)

× Image