Catatan Cak AT: Puasa, Autofagi dan Esofagus

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Bayangkan Anda pemilik rumah yang sudah puluhan tahun tak pernah dibersihkan. Lemari penuh baju yang sudah ketinggalan zaman, gudang dipenuhi perabot rusak yang selalu "sayang dibuang", dan entah bagaimana, kulkas masih menyimpan sisa makanan dari tiga tahun lalu yang kini lebih mirip eksperimen biologi daripada makanan.
Nah, tubuh kita juga mengalami hal serupa. Setiap hari, sel-sel kita menghasilkan sampah biologis —protein rusak, sel mati, dan komponen usang yang menghambat kinerja tubuh. Seperti komputer, makin banyak cache, makin berat jalannya. Sayangnya, tidak ada petugas yang dengan ikhlas datang membersihkannya.
Namun, tubuh kita bukan rumah yang sepenuhnya tak terurus. Ada mekanisme canggih bernama autofagi, semacam layanan daur ulang biologis gratis dan otomatis yang mengubah sampah seluler menjadi energi baru.
Dan, tahukah Anda cara paling ampuh untuk mengaktifkan mekanisme ini? Ya, cukup dengan tidak makan alias berpuasa!
Pada tahun 2016, seorang ilmuwan Jepang bernama Yoshinori Ohsumi mendapatkan Hadiah Nobel Kedokteran berkat penelitiannya tentang autofagi.
Secara sederhana, menurut temuannya, autofagi adalah proses di mana sel "memakan" bagian-bagian tubuhnya yang rusak, mendaur ulang komponen usang menjadi energi baru.
Ibaratnya, tubuh sedang melakukan renovasi besar-besaran, membongkar bagian yang bobrok, dan menggunakan bahan-bahan bekas untuk membangun ulang struktur yang lebih kuat. Namun, autofagi tidak sekadar teori ilmiah yang menarik.
Proses ini berperan penting dalam mencegah penyakit degeneratif, memperlambat penuaan, dan bahkan menurunkan risiko kanker.
Yang lebih menarik, autofagi tidak bisa terjadi jika kita terus-menerus makan tanpa jeda. Saat tubuh terus menerima pasokan makanan, ia tidak merasa perlu membersihkan dirinya sendiri.
Namun, ketika kita berpuasa, tubuh mulai "panik", kehabisan sumber energi eksternal, lalu mulai membongkar sampah-sampah seluler untuk didaur ulang.
Dalam dunia autofagi, ada dua protein kunci yang berperan sebagai detektif dan eksekutor: LC3B dan P62, duo protein superhero dalam proses pembersihan sel. LC3B (Microtubule-associated protein 1A/1B-light chain 3 beta) adalah protein yang bertugas membentuk struktur membran pembersih bernama autophagosome.
Bayangkan ini sebagai truk pengangkut sampah yang bertugas mengumpulkan dan mengantarkan limbah ke tempat pemrosesan akhir. Ketika autofagi aktif, LC3B-I (bentuk awalnya) akan diubah menjadi LC3B-II, yang kemudian menempel pada membran _autophagosome._ Semakin banyak LC3B-II yang terdeteksi, semakin aktif proses pembersihan dalam tubuh.
Sementara itu, protein P62 (SQSTM1) adalah semacam label "Buang Saya!" yang ditempelkan pada sampah seluler. P62 mengikat protein-protein rusak, menandainya agar bisa dikirim ke membran _autophagosome_ untuk dibersihkan.
Jika tubuh mengalami defisit autofagi, P62 akan menumpuk, seperti tumpukan sampah yang tidak diangkut dalam beberapa minggu. Sebaliknya, ketika autofagi berjalan lancar, kadar P62 menurun karena semua sampah telah diproses dengan efisien.
Dalam penelitian ilmiah, rasio LC3B-II terhadap P62 sering digunakan untuk mengukur efektivitas autofagi. Jika LC3B-II meningkat dan P62 menurun, berarti tubuh sedang aktif melakukan pembersihan. Sebaliknya, jika P62 tetap tinggi, itu tanda bahwa sistem daur ulang seluler kita sedang mogok. Di sini, puasa sangat membantu.
Tapi bagaimana dengan perut? Bukankah puasa bisa membuat asam lambung meningkat dan menyebabkan GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)?
Ini memang keluhan klasik yang sering muncul saat bulan Ramadhan. Esofagus, si penghubung antara mulut dan lambung, sering kali menjadi korban keganasan asam lambung yang naik tanpa izin. Hasilnya? Sensasi terbakar di dada, mulut terasa pahit, dan perasaan seperti baru menelan bara api.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa puasa justru bisa membantu mengatasi GERD —tentu saja jika puasa dilakukan dengan benar. Ketika seseorang berpuasa dan mengatur pola makan dengan baik, berat badan menurun, dan ini sangat membantu mengurangi tekanan pada perut.
Kurang tekanan, yang terjadi saat berat badan turun, berarti lebih sedikit risiko asam lambung naik ke esofagus. Selain itu, sistem pencernaan mendapat kesempatan untuk beristirahat, memperbaiki diri, dan bahkan memperkuat lapisan pelindung lambung.
Masalahnya, banyak orang yang melihat buka puasa sebagai ajang balas dendam kuliner. Setelah menahan lapar seharian, meja makan berubah menjadi medan perang: gorengan bertumpuk, es sirup berbaris rapi, dan berbagai makanan pedas menanti giliran untuk dikunyah.
Inilah penyebab utama mengapa GERD sering memburuk setelah berbuka. Bukannya berat badan turun, bahkan malah naik. Jadi, jika ingin puasa membantu mengatasi GERD, kuncinya sederhana tetapi sulit dilakukan: jangan makan berlebihan, hindari makanan berlemak tinggi, dan berhenti makan setidaknya dua jam sebelum tidur.
Sebuah studi terbaru di tahun 2025 dalam jurnal Molecular Biology Research Communications menemukan bahwa puasa Ramadan selama 30 hari meningkatkan ekspresi gen Beclin-1, salah satu regulator utama dalam autofagi. Studi ini juga mencatat penurunan kadar P62, yang menandakan bahwa tubuh sedang aktif membersihkan diri dari sampah seluler.
Penelitian lain menunjukkan bahwa puasa lebih dari 12 jam mampu memperpanjang usia, mengontrol gula darah, mengurangi peradangan, dan bahkan meningkatkan fungsi otak. Beberapa studi di laboratorium menunjukkan bahwa tikus yang dipaksa berpuasa hidup lebih lama dibandingkan yang makan terus-menerus.
Jadi, jika ada yang masih bertanya apakah puasa benar-benar bermanfaat, sains sudah berbicara: Puasa bisa membuat kita lebih sehat, lebih bugar, dan mungkin —lebih panjang umur. Bukti ilmiah yang tak terbantahkan menunjukkan, puasa bukan hanya ibadah, tapi juga investasi kesehatan jangka panjang.
Selama ini, puasa sering dianggap sebagai ujian ketahanan fisik dan mental. Padahal, di balik rasa lapar dan haus, tubuh kita sedang melakukan pembersihan total. Ini bukan sekadar tradisi keagamaan, tetapi mekanisme biologis yang telah dirancang sejak ribuan tahun lalu untuk menjaga tubuh tetap prima.
Jadi, lain kali ketika perut mulai berbunyi menjelang buka puasa, jangan langsung berpikir bahwa itu penderitaan. Itulah sinyal bahwa tubuh sedang bekerja keras membersihkan dirinya sendiri. Dan jika kita melakukan puasa dengan benar, kita tidak hanya mendapatkan pahala, tetapi juga tubuh yang lebih sehat, otak yang lebih tajam, dan umur yang mungkin lebih panjang.
Bukankah itu investasi yang sangat menguntungkan? Selamat melanjutkan puasa dengan lebih benar, berbuka dan sahur tidak berlebihan. Serta, selamat menikmati layanan pembersihan tubuh gratis yang sudah tersedia dalam sistem biologis kita! (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 20/3/2025