Catatan Cak AT: Generasi Beta, Selamat Datang

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Tahun 2025 ini kita kedatangan tamu istimewa: Generasi Beta! Bukan, ini bukan versi uji coba dari manusia, meskipun namanya mengingatkan kita pada perangkat lunak yang belum sepenuhnya stabil.
Mereka adalah individu yang lahir antara 2025 hingga 2039, generasi pertama yang akan tumbuh dalam dunia yang sudah _menikahi_ kecerdasan buatan, otomasi, dan realitas digital.
Anda tahu, pergantian generasi ini bukan cuma perkara akta kelahiran, tapi juga pergeseran cara manusia berpikir, bekerja, dan bersosialisasi.
Sekitar 15-20 tahun sekali, dunia seperti mengganti sistem operasinya. Ada yang upgrade, ada yang crash, ada yang masih loading tapi ogah pindah ke versi baru.
Mari kita kilas balik sebentar. Setelah Baby Boomers (1946-1964), hadir Generasi X (1965-1980) yang tumbuh di antara dunia analog dan digital.
Saya masuk kategori ini, pernah belajar teknologi internet sampai ke Amerika Serikat, lalu mendirikan Republika Online, koran pertama di internet pada 1995 —yang sampai sekarang belum down.
Lalu datang Milenial (1981-1996), generasi yang pertama kali dewasa dengan internet. Generasi Z (1997-2009) lahir di dunia serba online, sementara Generasi Alfa (2010-2024) lahir langsung dengan tablet di tangan dan AI sebagai teman bermain.
Nah, jika Generasi Alfa sudah terbiasa hidup berdampingan dengan teknologi, Generasi Beta akan menghadapi dunia di mana AI bukan hanya alat, tapi juga mitra hidup. Kalau kita siapkan dengan baik, mereka bisa tumbuh menjadi generasi yang lebih kreatif, produktif, dan—ini yang paling penting—banyak bersyukur.
Sebagai anak-anak dari Milenial dan Generasi Z, Generasi Beta ini akan diwarisi nilai-nilai yang unik: di satu sisi mereka akan melek teknologi, di sisi lain mereka juga tumbuh dengan kesadaran bahwa teknologi tidak selalu membawa kebahagiaan.
Pola asuh terhadap Generasi Beta kemungkinan lebih fokus pada pemanfaatan teknologi secara cerdas dan bertanggung jawab. Kalau Generasi Alfa masih jadi kelinci percobaan dalam dunia digital, Generasi Beta akan tumbuh dengan sistem yang lebih matang —meskipun tetap ada kemungkinan sistem itu buggy.
Mereka akan hidup di dunia di mana AI bisa menyesuaikan pembelajaran, pengalaman belanja, bahkan interaksi sosial mereka secara personal. Perbedaan antara dunia fisik dan digital akan semakin kabur. Yang nyata dan maya makin susah dibedakan—mirip seperti akun-akun anonymous di media sosial yang bicara sok bijak.
Dari sistem transportasi otonom, layanan kesehatan berbasis AI, hingga ruang kerja yang berbasis metaverse, Generasi Beta akan melihat semua ini bukan sebagai inovasi, tetapi sebagai standar kehidupan. Mau tidak mau, mereka harus kita siapkan untuk itu—kalau tidak, mereka akan tertinggal di zaman di mana manusia sudah malas berpikir sendiri.
Pendidikan mereka akan jauh lebih dipersonalisasi, dengan algoritma yang menyesuaikan kurikulum berdasarkan potensi individu. Otomasi dan AI akan menggantikan banyak pekerjaan manual, jadi keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan adaptasi akan menjadi lebih penting daripada sekadar hafalan.
Namun, perkembangan pesat ini juga membawa tantangan. Generasi Beta mungkin lebih terhubung digital, tapi justru berisiko lebih terputus sosial.
Generasi mereka bisa jadi lebih pintar berbincang dengan AI dibanding ngobrol dengan manusia. Ini bisa jadi bahan penelitian sosiologi —atau mungkin bahan stand-up comedy di masa depan.
Hubungan Generasi Beta dengan generasi sebelumnya juga menarik. Generasi X dan Baby Boomers, yang akan menjadi kakek-nenek mereka, mungkin akan melihat dunia mereka dengan kebingungan. Cucu-cucu mereka pintar? Iya. Tapi kakek-neneknya juga akan terus bertanya: "Ini anak ngobrol sama orang atau sama chatbot?"
Bagi Milenial dan Generasi Z yang akan menjadi orang tua mereka, tantangannya adalah membimbing Generasi Beta agar tidak hanya jadi jagoan teknologi, tetapi juga punya empati, tanggung jawab sosial, dan kesadaran lingkungan. Masalahnya, para orang tua ini kadang juga masih bingung dengan dunia digital yang mereka ciptakan sendiri.
Namun, Generasi Z yang sudah kenyang dengan media sosial kemungkinan akan lebih ketat dalam membatasi penggunaan teknologi bagi anak-anak mereka dibanding Milenial. Setelah melihat sendiri efek doomscrolling dan toxic culture, mereka paham bahwa membiarkan anak terlalu lama di dunia digital bisa berbahaya—baik untuk mental maupun kuota internet.
Sementara itu, Generasi Alfa yang akan menjadi kakak mereka akan berperan sebagai penghubung yang menarik. Jika Generasi Alfa adalah perintis dalam dunia digital, Generasi Beta akan menjadi generasi yang menyempurnakan cara penggunaannya. Mereka akan belajar dari pengalaman kakak-kakaknya yang sempat overdosis media sosial.
Generasi Beta juga akan menghadapi dunia yang penuh tantangan global: perubahan iklim, pergeseran populasi, urbanisasi yang semakin cepat. Tapi tidak seperti generasi sebelumnya, mereka akan tumbuh dengan kesadaran bahwa inovasi bukan hanya untuk kemudahan, tetapi juga untuk mencari solusi.
Mereka akan lebih global dalam cara berpikir dan lebih kolaboratif dalam mencari jalan keluar. Bagi mereka, dunia adalah tempat kerja, bukan hanya negara tempat mereka lahir.
Dengan konektivitas yang semakin tinggi, Generasi Beta juga akan membentuk cara baru dalam bersosialisasi. Mereka akan mencoba menyeimbangkan interaksi fisik dan digital dengan lebih baik—meskipun tetap ada yang lebih nyaman voice note daripada bertemu langsung.
Jika Generasi Alfa dikenal sebagai generasi pertama yang dibesarkan dalam era digital, Generasi Beta akan menjadi generasi yang menentukan apakah dunia digital dan fisik bisa benar-benar menyatu tanpa kehilangan esensi manusiawi. Kalau tidak disiapkan dengan baik, mereka hanya akan jadi konsumen teknologi yang pasif.
Menyambut Generasi Beta berarti memahami bahwa mereka akan hidup di dunia yang sangat berbeda dari yang kita kenal hari ini. Tantangan bagi generasi sebelumnya adalah membimbing mereka agar mampu memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan jati diri sebagai manusia.
Jika bimbingan itu dilakukan dengan bijak, Generasi Beta tidak hanya akan menjadi generasi yang paling tech-savvy, tetapi juga yang paling sadar akan pentingnya keseimbangan antara kemajuan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Semoga mereka tidak hanya pandai memerintah AI, tapi juga bisa berdialog dengan manusia secara _face-to-face_, bukan hanya screen-to-screen. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 9/3/2025