Home > Kolom

Catatan Cak AT: Lilin Bagi Indonesia Gelap

Gerakan "Indonesia Gelap" pun lahir, membawa tuntutan-tuntutan berani yang mengoreksi berbagai program pemerintah.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Lilin Bagi Indonesia Gelap. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Lilin Bagi Indonesia Gelap. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di bawah terik matahari, mahasiswa Indonesia kembali menyalakan lilin. Sebuah aksi yang bukan sekadar simbolik, tetapi juga filosofis—karena meski siang bolong, mereka bersikeras bahwa kegelapan menyelimuti negeri ini. Aksi ini konon akan berlanjut menyambut pelantikan kepala-kepala daerah hari ini.

Gerakan "Indonesia Gelap" pun lahir, membawa tuntutan-tuntutan berani yang mengoreksi berbagai program pemerintah.

Sebagiannya terdengar seperti menu diet eksperimental: ada efisiensi anggaran yang perlu dipangkas, makan bergizi yang harus direvisi, hingga tambang yang dituntut agar dijauhkan dari ranah akademik.

Namun, mari kita tarik napas sejenak. Gerakan mahasiswa bukanlah fenomena baru. Sejak zaman kolonial, mereka telah menjadi pelopor perubahan —entah sebagai intelektual yang membakar semangat bangsa atau sebagai aktor yang, sadar atau tidak, terseret dalam skenario politik yang lebih besar.

Tapi kali ini, ada yang terasa berbeda: kecepatannya. Demo ini muncul secepat kilat, menggugah pertanyaan: bagaimana mungkin ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru negeri serempak turun ke jalan hanya dalam hitungan hari setelah Presiden Prabowo Subianto mengucapkan kata sakti seperti "Ndasmu" dan "Hidup Jokowi"?

Sebagaimana biasa, polemik pun muncul. Apakah mereka memiliki jaringan komunikasi yang lebih canggih dari transportasi umum kita yang sering tertunda? Ataukah ada "kekuatan tak kasat mata" yang menyediakan segala kebutuhan operasional, dari spanduk hingga nasi bungkus?

Jika gerakan ini benar-benar murni, mahasiswa kita telah mencapai tingkat organisasi yang luar biasa efisien. Namun, jika ada tangan-tangan tersembunyi yang menggerakkan mereka, maka kita sedang menyaksikan sandiwara politik dengan aktor-aktor penuh semangat, tetapi naskahnya ditulis oleh pihak lain.

Mari kita telaah lebih dalam. Salah satu tuntutan utama mereka adalah membatalkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran. Mahasiswa tampaknya menganggap efisiensi ini sebagai pemangkasan kesejahteraan, terutama karena dampaknya pada biaya pendidikan mereka.

Namun, jika anggaran tidak diefisienkan, maka pemerintah harus menambah utang —sesuatu yang mereka juga kritik. Dan jika utang bertambah, besok mereka akan kembali turun ke jalan, mengecam pemerintah yang boros dan gemar berutang. Sebuah ironi yang, kalau dipikir-pikir, mirip buah simalakama.

Lalu ada tuntutan evaluasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Secara prinsip, kebijakan ini bertujuan baik: memastikan anak-anak sekolah mendapat gizi layak. Tapi mahasiswa merasa ada yang perlu dikritisi. Soal dana yang memangkas kepentingan mereka? Atau karena, dalam politik, semua kebijakan memang harus dicurigai?

Yang lebih menarik adalah tuntutan agar dosen dan ASN segera menerima tunjangan kinerja (tukin). Sebuah aspirasi yang wajar, mengingat selama ini para dosen menikmatinya. Namun, mengingat mahasiswa sering mengeluhkan uang kuliah yang mahal, pertanyaannya: dari mana dana tambahan itu akan diambil?

Puncak dari demo ini adalah tuntutan agar mantan Presiden Joko Widodo diadili. Pertanyaannya, dengan pasal apa? Atas kebijakan yang dulu mereka puja-puji? Ataukah ini sekadar ritual tahunan, di mana tokoh yang kemarin dielu-elukan kini harus dicaci maki demi siklus politik yang terus berulang?

Menariknya, kritik terhadap Prabowo justru muncul saat kebijakannya, secara teori, sejalan dengan aspirasi rakyat. Upayanya melawan korupsi, meningkatkan gizi lewat MBG, menyetop utang dan impor, serta membatasi oligarki —semuanya, dalam banyak hal, sesuai dengan narasi perubahan yang selalu dikumandangkan mahasiswa.

Dr. Syahganda Nainggolan bahkan menyebut Prabowo sebagai seorang revolusioner karena kebijakannya berusaha merombak dominasi oligarki. Jika demikian, maka mereka yang berusaha menggagalkan kebijakan ini bisa disebut kaum kontra-revolusi—termasuk mereka yang mungkin memanfaatkan gerakan mahasiswa untuk agenda tertentu.

Dugaan ini semakin menarik jika dikaitkan dengan konsep _Defence Industry_ ala oligarki, sebagaimana dijelaskan oleh ekonom Jeffrey Winters. Oligarki tidak tinggal diam ketika kepentingan mereka terancam. Mereka memiliki alat pertahanan berupa media, akademisi, tokoh masyarakat, dan massa yang bisa digerakkan.

Jadi, apakah demo mahasiswa kali ini bagian dari reaksi pertahanan oligarki? Entahlah. Kita tentu tidak ingin menyederhanakan situasi ini sebagai "mahasiswa ditunggangi" atau "gerakan murni spontan." Sejarah membuktikan, gerakan mahasiswa bisa menjadi kekuatan moral yang menentang rezim korup dan otoriter.

Namun, di era informasi yang begitu cepat dan kadang manipulatif, mahasiswa perlu lebih kritis terhadap siapa yang sebenarnya diuntungkan dari aksi mereka. Jangan sampai, tanpa disadari, mereka bukan sedang melawan ketidakadilan, tetapi justru menjadi pion dalam skema kekuatan yang lebih besar.

Jadi, apakah mahasiswa benar-benar menjadi lokomotif perubahan? Ataukah mereka hanya pion dalam permainan catur politik yang lebih besar tanpa mereka sadari? Jawabannya ada di tangan mereka sendiri sejalan dengan pemikiran mereka yang mestinya kritis.

Sejauh ini, publik masih percaya mahasiswa adalah harapan bangsa. Tapi harapan itu harus ditopang dengan kesadaran kritis. Jika ingin memperjuangkan rakyat, pastikan tidak ada agenda terselubung yang menyelinap di antara barisan mereka.

Jika tidak, gerakan mahasiswa ini hanya akan menjadi riak di permukaan —meriah, gaduh, tapi tak membawa perubahan yang berarti. Seperti lilin yang menyala di siang hari, akhirnya padam tanpa pernah benar-benar menerangi kegelapan. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 20/2/2025

× Image