Catatan Cak AT: Raja Berita di Ratusan Kota
![Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Raja Berita di Ratusan Kota. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/news/250212092522-856.jpg)
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ada seorang lelaki bernama Matthew Henderson. Bukan, dia bukan pahlawan super dari semesta Marvel, tapi dia memang memiliki kekuatan super dalam dunia media.
Dengan hanya satu laptop dan sekumpulan algoritma yang diopreknya dari khazanah ilmu kecerdasan buatan, ia menjadi raja media.
Bayangkan, bekerja solo di Good Day Fort Collins, di New York City, ia berhasil mengoperasikan jaringan media yang menyebar di 355 kota di seluruh AS.
Tanpa redaksi, tanpa wartawan, dan tanpa kantor berita yang berisik dengan deringan telepon atau aroma kopi basi. Semua berita dihasilkan oleh AI —dan tentu saja, tak ada yang tahu.
Jurnalisme model ini bukan sekadar sebuah eksperimen teknologi, tapi juga sebuah satire tentang masa depan media. Di satu sisi, kita bisa bertepuk tangan untuk efisiensi —betapa mengagumkannya bahwa satu orang bisa mengelola lebih banyak media daripada konglomerat raksasa seperti The New York Times.
Tapi di sisi lain, apakah ini jurnalisme atau sekadar manipulasi algoritmik terhadap ketidaktahuan publik? Dalam dunia media konvensional, ini bisa disebut sebagai "penyesatan publik" atau "pelanggaran etika jurnalistik." Tapi di era AI? Ini hanya disebut "pengoptimalan skala besar."
Di permukaan, jaringan yang dikelola Matthew Henderson ini tampak seperti kumpulan media lokal yang melayani komunitasnya. "Good Day Fort Collins," "Daily Macon," dan ratusan nama lainnya memberikan berita-berita khas lokal. Isinya tentang restoran yang baru buka, cuaca ekstrem, hingga perubahan kepemimpinan di rumah sakit setempat.
Yang membaca, terutama pensiunan yang sudah lelah dengan kebisingan media sosial, mungkin merasa mendapatkan berita yang hangat dan personal, dengan magnitude dan kedekatan.
Mereka bisa penduduk setempat, atau warga kota itu yang kini tinggal di kota lain. Masalahnya, ilusi lokalitas ini justru bertumpu pada duplikasi massal.
Kesaksian pembaca yang katanya tinggal di kota tertentu ternyata digunakan di ratusan kota lain. Misalnya, “Matthew K” yang merasa beruntung punya akses berita lokal di Fort Collins.
Tapi ia juga memberi testimoni pada media di Arkansas, Idaho, Washington, dan Texas. Seolah ia manusia kuantum yang eksis di banyak tempat sekaligus.
Dari sisi bisnis, Good Day ini jenius. Jurnalisme AI ini manifestasi dari model media ultra-ringan. Tak perlu membayar gaji jurnalis, tidak ada biaya cetak atau distribusi, dan tak perlu khawatir soal kantor redaksi yang menguras anggaran. Sumber berita? Diambil dari media lokal yang masih dikelola manusia —mungkin tanpa izin dan tanpa transparansi.
Pendapatan utama jaringan media yang dikelola Matthew Henderson melalui perusahaannya, Good Day, ini berasal dari dua sumber: iklan dan donasi. Para pengiklan barangkali berpikir mereka sedang menjangkau audiens lokal, padahal mereka mungkin hanya masuk ke dalam jaringan media massal tanpa keterlibatan nyata pembaca.
Sementara itu, pembaca yang memberikan donasi merasa mereka sedang mendukung "media lokal," tanpa menyadari bahwa yang mereka dukung adalah sebuah mesin otomatis yang bahkan tak peduli apakah Fort Collins atau Rock Springs benar-benar kota yang ada di peta. Maklumlah, mesin AI yang bekerja sepenuhnya.
Lebih menarik lagi, entah bagaimana, banyak orang mendapati diri mereka sudah berlangganan tanpa pernah mendaftar. Mereka tak menolak dimasukkan jadi pelanggan, karena merasa tak dirugikan. Ini mengingatkan kita pada trik lama spam email, hanya saja kali ini lebih rapi dan dikemas dalam format "jurnalisme yang peduli komunitas."
Kasus Good Daily ini memberikan gambaran tentang masa depan media yang semakin otomatis dan impersonal. Jika satu orang bisa menjalankan ratusan media dengan AI, apa yang akan terjadi dengan jurnalis manusia? Apakah berita masa depan akan ditulis, diedit, dan disebarkan sepenuhnya oleh mesin? Kemana jurnalis manusia?
Mungkin kita akan sampai di titik di mana jurnalisme manusia akan menjadi produk premium —seperti kopi organik atau roti artisan— sesuatu yang lebih mahal karena dikerjakan dengan tangan dan penuh perasaan. Sementara itu, media AI akan menguasai pasar massal, menyajikan berita tanpa konteks, emosi, atau etika.
Namun, sebelum kita terburu-buru menulis obituari untuk jurnalisme manusia, ada satu hal yang masih berpihak pada kita: kepercayaan. Seiring waktu, publik akan mulai menyadari bahwa ada perbedaan antara berita yang benar-benar dihasilkan oleh wartawan yang memahami konteks, dengan berita yang sekadar diproduksi oleh mesin.
Pada akhirnya, masa depan media tidak hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang apakah kita, sebagai pembaca, masih peduli dengan siapa yang menulis berita yang kita konsumsi. Manusia yang menulis dari hati nurani jelas berbeda dari mesia AI yang menulis hanya dengan memindai kata kunci dan menyusun ulang informasi.
Jika kita membiarkan AI menggantikan seluruh proses jurnalistik, maka berita bukan lagi tentang kebenaran, tetapi tentang efisiensi —dan itu menjadi berita buruk bagi kita semua. AI jelas tetap dibutuhkan di dapur media, tapi bukan untuk menggantikan pekerjaan wartawan sepenuhnya. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 12/2/2025