2025, Menjadi Tahun Penuh Tantangan Kementerian Pariwisata
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Terlepas dari semua capaian kinerja yang sangat baik yang sudah dicapai oleh Kementerian Pariwisata sepanjang tahun 2024, menurut anggota DPD RI, Erni Daryanti, tahun 2025 justru akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi Kementerian itu.
Selain soal kenaikan PPN 12% yang akan berdampak pada daya beli masyarakat termasuk daya beli pada sektor pariwisata. Tantangan terbesar lainnya adalah implementasi konsep pariwisata ramah disabilitas.
Di tingkat global, konsep pariwisata ramah disabilitas yang menjadi bagian dari pariwisata berkelanjutan, sudah dikenal sejak 2019.
Saat itu United Nations Tourism Organization (UNWTO) dan The ONCE Foundation meluncurkan The "Accessible Tourism Destination (ATD)".
ATD merupakan penghargaan tahunan yang diberikan oleh UNWTO yang didasarkan pada evaluasi Komite Ahli, yang mengakui destinasi wisata tertentu, sebagai destinasi mampu memberikan layanan bagi setiap wisatawan secara inklusi, terlepas dari keterbatasan para wisatawan tersebut.
"Portugal, Barcelona, dan kota Thrissur di India adalah 3 destinasi wisata yang memperoleh penghargaan ATD untuk pertama kali pada tahun 2020,” ujar senator Kalimantan Tengah itu.
Di Indonesia, konsep tersebut mulai diperkenalkan sejak tahun 2021, dengan terbitnya Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan melalui Permenparekraf No 9 Tahun 2021.
Namun tiga tahun berjalan, jumlah destinasi yang ramah disabilitas masih bisa di hitung dengan jari. Masih banyak pengelola destinasi yang belum memahami atau bahkan abai melaksanakan konsep tersebut.
Padahal jika merujuk data BPS tahun 2023, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia ada 22,97 juta orang. Jumlah ini setara dengan 8,5% dari total penduduk Indonesia. Dari sisi ekonomi, potensi wisatawan dalam negeri ini tentu harus diperhitungkan.
Selain soal teknis perihal minimnya sosialisasi sebagai salah satu sebab lambannya progres implementasi konsep pariwisata disabilitas, Erni menyebut pencantuman konsep pariwisata disabilitas dalam peraturan Menteri juga sebagai kelemahan.
“Komite III DPD RI memandang perlu adanya penguatan terhadap konsep pariwisata ramah disabilitas sebagai perintah Undang-Undang menjadi muatan Undang-Undang, yang apabila tidak dilaksanakan dibebani sanksi hukum. Sehingga ada daya paksa bagi stakeholder pariwisata untuk melaksanakan. Oleh karena Komite III DPD RI cantumkan norma konsep pariwisata ramah disabilitas dalam Perubahan UU Pariwisata yang telah disusun oleh Komite III DPD RI tahun 2024,” jelasnya.
Sebagai catatan, sebelum pandemi, pariwisata di tanah air sukses menghasilkan devisa. Puncaknya pada tahun 2019 dimana sektor pariwisata berhasil membukukan devisa hingga US$16,91 miliar.
Jumlah devisa sektor pariwisata terjun bebas pada tahun 2020 saat Covid-19 berlangsung. Sektor pariwisata hanya mampu membukukan devisa sebesar US$3,38 miliar. Terburuk, terjadi pada tahun 2021 dengan jumlah devisa menjadi US$0,52 miliar.
Sektor pariwisata Indonesia menunjukan geliat kehidupannya kembali mulai tahun 2023 silam. BPS mencatat pada tahun 2023, devisa sektor pariwisata sebanyak US$14 miliar.
Pada tahun 2024 ini, BPS menyebut, Pemerintah membukukan potensi nilai devisa sektor pariwisata senilai Rp25,4 triliun melalui sejumlah kegiatan pemasaran sepanjang 2024 baik yang berlangsung di dalam negeri maupun luar negeri.
“Komite III DPD RI sangat mengapresiasi kinerja Kementerian Pariwisata yang telah melakukan berbagai inovasi dalam program kerjanya dalam mengupayakan bangkitnya pariwisata Indonesia,” pungkas Erni Daryanti, Wakil Ketua Komite III DPD RI ini. (***)
Reporter: Bambang Ipung Priambodo