Home > Kolom

Catatan Cak AT: Pemburu Rente Pembajak Demokrasi

Setalah istirahat sejenak di balik panggung megah pesta demokrasi, kita tersadar ada kelompok yang lihai menyulap suara rakyat menjadi tambang emas.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT:: Pemburu Rente Bajak Demokrasi. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Foto ilustrasi Catatan Cak AT:: Pemburu Rente Bajak Demokrasi. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Tak bidan kita Tak bosan kita bicara demokrasi. Ya, demokrasi! Sistem yang digadang-gadang memberi kebebasan kepada rakyat untuk memilih pemimpin, menikmati hak-hak dasar, dan berharap pada pemerintahan yang adil.

Kita yang tahu banyak yang tak beres di sana, seolah tak berdaya dan pada akhirnya kita seperti harus pasrah menerima.

Setelah istirahat sejenak di balik panggung megah pesta demokrasi, kita tersadar ada kelompok yang lihai menyulap suara rakyat menjadi tambang emas.

Desi Rahmawati, lewat bukunya _Demokrasi dalam Genggaman Para Pemburu Rente, membongkar praktik ini dengan kejelian seorang detektif dan ketajaman analisis seorang akademisi.

Apa sebenarnya perburuan rente itu? Jika korupsi adalah mencuri barang milik publik secara ilegal, perburuan rente lebih dari itu, adalah seni mengemas pencurian itu agar tampak legal. Jahatnya berlipat.

Praktik ini bisa berupa lobi politik, monopoli pasar, hingga manipulasi regulasi. Anda tahu para aktor yang lihai bermain di ladang ini.

Misalnya, dia bisa seorang politisi yang tidak mencuri langsung dari APBN tetapi cukup pintar melobi agar aturan diubah untuk kepentingannya. Atau, dia bisa seorang pemain proyek yang tahu celah memperoleh lahan tambang melalui cara kongkalikong. Hasilnya? Keuntungan miliaran rupiah dengan stempel “sah menurut hukum.”

Dalam penelitian Desi di Kabupaten Asahan, praktik perburuan rente ini bukan lagi rahasia. Para pemburu rente memainkan peran ganda: mereka adalah politisi, pengusaha, bahkan aktivis antikorupsi.

Ya, aktivis pun kini tak boleh dipandang murni seolah memperjuangkan nasib rakyat, walaupun tampak sebagai aktivis antikorupsi.

Desi menciptakan istilah "aktivisme pemerasan" untuk menggambarkan fenomena di mana aktivis mendekati pejabat korup bukan untuk mengungkap kejahatan, tetapi untuk menegosiasikan harga diam mereka. Ironisnya, peran ini digambarkan Olle Törnquist di kata pengantar buku Desi lebih menyerupai Robin Hood tanpa misi sosial.

Apa yang membuat praktik ini begitu subur? Kapitalisme ala Indonesia, yang seharusnya mendewakan efisiensi dan persaingan bebas, justru menjadi lahan basah bagi para pemburu rente.

Kapitalisme kita lebih menyerupai bazar pasar malam dibandingkan arena kompetisi yang adil. Pemain besar lebih memilih menciptakan monopoli daripada bersaing secara sehat.

Yang membuat analisis Desi istimewa adalah caranya memadukan teori Pierre Bourdieu dengan pendekatan struktural ala Vedi Hadiz.

Ia menekankan bahwa perilaku pemburu rente ini bukan hanya ulah individu, tetapi produk dari habitus —pola pikir dan kebiasaan yang tumbuh subur dalam sistem yang memanjakan rente.

Masalahnya bukan sekadar pada pelaku, tetapi pada sistem yang memang dirancang untuk memfasilitasi praktik ini. Kita tahu, berapa undang-undang yang diciptakan untuk keuntungan para pemburu rente. Kita tahu betapa hukum jadi permainan para elite, termasuk presiden sendiri, untuk kepentingan politis keluarga mereka.

Generasi baru pemburu rente, yang lebih modern dan progresif secara tampilan, kini memainkan peran dominan. Mereka mendirikan organisasi yang kerap berlindung di balik jargon reformasi.

Perburuan rente tidak lagi terbatas pada koneksi lama, tetapi juga memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk mengokohkan pengaruh mereka.

Hingga penghujung 2024 ini, enam tahun setelah buku Desi terbit pada 2018, apa yang berubah? Jika kita melihat Indonesia pada Pemilu 2024, jawabannya justru mengecewakan.

Demokrasi kita semakin tersandera oleh politik biaya tinggi. Kandidat politik, baik di tingkat daerah maupun nasional, sering kali bergantung pada jaringan rente untuk membiayai kampanye mereka.

Akibatnya, setelah terpilih, mereka harus "membayar utang" kepada penyandang dana yang mengoperasikan sistem di belakang layar.

Kemajuan teknologi informasi justru memperparah situasi. Media sosial dan big data, yang mestinya menjadi alat pemberdayaan rakyat, kini menjadi senjata bagi para pemburu rente untuk memanipulasi opini publik. Mereka mengerahkan para buzzer untuk memoles pencitraan yang akan memuluskan langkah mereka.

Dalam sektor regulasi, kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu sering kali dibuat dengan mengorbankan kepentingan publik. Misalnya, konsesi tambang dan izin lahan yang diberikan tanpa transparansi, menghasilkan keuntungan besar bagi segelintir elite, tetapi meninggalkan kerusakan lingkungan yang tak ternilai.

Yang lebih mengkhawatirkan, institusi-institusi demokrasi justru semakin melemah. Kasus pelemahan KPK dan kriminalisasi aktivis yang kritis terhadap pemerintah menjadi bukti nyata bahwa ruang untuk mengungkap praktik rente semakin menyempit. Para pelaku rente semakin merasa aman dalam menjalankan aksi mereka.

Pemikiran Desi tetap relevan, bahkan semakin penting sebagai pengingat. Karyanya bukan hanya sekadar kajian akademis, tetapi panggilan untuk menyelamatkan demokrasi yang kian terperosok.

Tanpa reformasi nyata, cita-cita demokrasi yang adil dan inklusif hanya akan menjadi utopia. Rakyat akan terus menjadi penonton dalam permainan yang tidak pernah berpihak kepada mereka.

Pada akhirnya, demokrasi yang sehat membutuhkan lebih dari sekadar regulasi atau slogan antikorupsi. Kita perlu mengubah habitus —cara berpikir dan bertindak yang sudah mendarah daging di kalangan elite kita. Jika tidak, demokrasi kita hanya akan menjadi panggung sandiwara yang penuh ilusi. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 31/12/2024

× Image