Home > Kolom

Misi Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Presiden Prabowo Subianto

Menurut World Bank, sejak kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia sejauh ini hanya berhasil merasakan lima kali pertumbuhan ekonomi di level 8 persen atau lebih.
Mudahnya Pygmalion Effect merupakan fenomena psikologis di mana terdapat korelasi positif antara ekspektasi dan performa. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Mudahnya Pygmalion Effect merupakan fenomena psikologis di mana terdapat korelasi positif antara ekspektasi dan performa. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Dulu, siapa yang menyangka dengan berbagai keterbatasan, ada orang Indonesia yang berhasil menaklukkan puncak tertinggi di dunia, Everest.

Dialah Serka Asmujiono, anggota TNI Kopassus yang berhasil mencapai puncak gunung Everest pada April 1997.

Saat itu, ia diberangkatkan oleh Danjen Kopassus yang saat itu tengah menjabat, Letjen Prabowo Subianto. Sosok yang saat ini kita kenal sebagai Presiden Republik Indonesia.

Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson adalah duo behavioral psychologist yang pertama kali meneliti fenomena seperti yang Prabowo lakukan kepada anak buahnya dalam ekspedisi everest di atas. Fenomena ini populer dengan sebuatan "Pygmalion Effect" (1968).

Mudahnya Pygmalion Effect merupakan fenomena psikologis di mana terdapat korelasi positif antara ekspektasi dan performa.

Jadi dengan kata lain, ketika seseorang memiliki ekspektasi tinggi terhadap sesuatu, maka hal itu akan mengakibatkan peningkatan performa sesuai dengan ekspektasi tersebut.

Sepertinya saat ini ketika sudah menjadi presiden, Prabowo ingin mengulangi keefkektifan Pygmalion Effect pada misi everest tersebut ke visi ekonominya untuk membuat Indonesia tumbuh 8% (https://bit.ly/8PBW).

Menurut World Bank, sejak kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia sejauh ini hanya berhasil merasakan lima kali pertumbuhan ekonomi di level 8 persen atau lebih.

Menariknya, kesemua pertumbuhan ini tercipta di era Soeharto, yakni mencapai pada 1968 (10,9 persen), 1973 (8,1 persen), 1977 (8,3 persen), 1980 (10 persen) dan 1995 (8,2 persen).

Dengan track record pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai angka rata-rata sekitar 5%-an di era Jokowi, maka dengan visi pertumbuhan 8% tersebut, Indonesia membutuhkan investasi Rp 13.528 triliun hingga Rp 14.000 triliun dalam lima tahun ke depan.

Sulit, tapi bukan hal yang mustahil

Caranya bisa sangat bervariasi. Yang jelas dalam menghadapi target pertumbuhan ekonomi yang tinggi memerlukan respon kolektif dari pelaku industri.

Pemerintah bersama-sama pelaku Industri harus senantiasa bergandengan tangan untuk berkolaborasi dalam strategi implementasi teknologi, investasi SDM, optimalisasi kebijakan, dan tentunya mewujudkan sebuah institusi pemerintahan yang inklusif. Seperti yang dipaparkan oleh pemenang hadiah Nobel ekonomi teranyar, Acemoglu dan Robinson.

Mereka berdua dalam bukunya "Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty", menjelaskan bahwa negara-negara maju memiliki institusi yang inklusif, yaitu institusi yang memberikan peluang partisipasi yang luas kepada masyarakat, membuka pintu bagi inovasi, kreativitas, yang pada akhirnya akan menciptakan kemakmuran (dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi).

Pendeknya, kita semua sebagai "bagian dari Indonesia hari ini" harus terus optimis merespon misi 8% a la Prabowonomics yang ambisius ini.

Yah, seperti yang Soekarno sempat dengungkan berpuluh tahun lalu, "Bermimpilah setinggi langit, jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang" (***)

Penulis: Ma Isa Lombu/Public Policy and Behavioural Science Junkies/Alumni FEB Universitas Indoesia (UI)

× Image