Webinar InMind: Akhir 50 Tahun Rezim Otoriter Suriah, Al-Assad
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Institut Inisiatif Moderasi Indonesia (InMind Institute) telah menyelenggarakan Seminar Web (Webinar) pada Selasa (10/12/24) malam, pukul 19.00- 20.40 WIB dengan tema: Akhir 50 Tahun Rezim Otoriter Assad, Ada Apa di Suriah?.
Webinar ini menghadirkan Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Prof. Yon Machmudi, S.S., Ph.D yang juga Direktur Eksekutif InMind Institute. Acara ini dipandu oleh Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute, Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos, M.I.P.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh InMind Institute melalui aplikasi Zoom Cloud Meeting, serta disiarkan secara live streaming oleh akun Youtube InMind Institute Indonesia di laman https://youtu.be/vfJYm-9sdMM. Media audio visual ini berdurasi 1 jam 36 menit 20 detik dan telah disaksikan oleh 739 akun pengguna Youtube hingga berita ini ditayangkan.
Adapun peserta webinar di aplikasi Zoom Cloud Meeting telah mencapai 100 orang, jumlah maksimal peserta yang dapat hadir di Zoom.
Dalam paparannya, Prof. Yon Machmudi, M.A., Ph.D., menjelaskan seputar jatuhnya rezim Presiden Republik Arab Suriah, Basyar Hafiz al-Assad, pada Ahad (10/12/24), setelah berkuasa lebih dari 24 tahun sejak 17 Juli 2000.
Menurutnya, Presiden Basyar al-Assad telah meneruskan kekuasaan ayahandanya, almarhum Presiden Hafez al-Assad, yang berkuasa sejak 14 Maret 1971 hingga 10 Juni 2000.
"Jika dihitung sejak masa ayahnya berkuasa, maka rezim otoriter al-Assad telah berkuasa selama lebih dari setengah abad, lebih dari 53 tahun, di Suriah,” tuturnya.
Geopolitik Suriah pasca tumbangnya rezim al-Assad, sangat menarik untuk dibahas oleh para akademisi dan peneliti bidang sosial dan politik di Timur Tengah.
"Apalagi ada banyak negara adidaya yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi di Suriah,” lanjutnya pada Selasa (10/12/24) malam.
“Misalnya, negara-negara adikuasa seperti Federasi Rusia dan Amerika Serikat (AS), serta negara berpengaruh di kawasan seperti Republik Islam Iran, Republik Turkiye, Israel, Qatar dan Kerajaan Arab Saudi,” paparnya.
Faktor penting dan menarik lainnya dalam perlawanan terhadap rezim al-Assad, ungkapnya, ialah beragam faksi oposisi di Suriah, khususnya Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebagai faksi terbesar dan pemimpin oposisi di Suriah.
"HTS sangat erat kaitannya dengan Abu Mohammed Al Julani sebagai pemimpin tertingginya,” imbuhnya.
Salah satu keputusan fenomenal Abu Mohammed Al Julani, lanjutnya, ialah memisahkan diri dari induk organisasi asalnya, Al-Qaeda, dan berpisah jalan dengan sekutu dekatnya, kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL), sejak pertengahan tahun 2016.
“Lalu, calon kuat pemimpin masa depan Suriah itu pun mendirikan HTS sebagai organisasi baru yang berkarakter lebih moderat dibandingkan ISIS/ ISIL dan Al-Qaeda,” papar Ketua Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam (KTTI)-Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI).
HTS sendiri, tegasnya, lahir dari embrio Jabhat al-Nusra atau Front al-Nusra yang juga dipimpin oleh Abu Mohammed Al Julani.
“Jadi HTS adalah bentuk transformatif dari Jabhat al-Nusra,” kata Prof. Yon Machmudi.
Kegiatan ini juga dihadiri secara daring oleh Wakil Direktur Eksekutif InMind Institute, Prof. Dr. Firman Noor, M.A, Direktur Kajian dan pelatihan InMind Institute, Hardiyanto Widyo Priohutomo, S.I.P., M.I.P dan Direktur Jaringan Strategis dan Kerja Sama InMind Institute, Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P., M.I.P.
Hadir pula Sekretaris InMind Institute, Fahrudin Alwi, S.Hum., M.Si, Graphic Designer InMind Institute, Yasminne Nur Annisa Iman, S.Hum serta tiga Peneliti InMind Institute, yakni Farid Mubarok, Farhan Abdul Majiid, S.Sos., M.A dan Fadhlan Aldhifan, S.I.P. (***)
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P., M.Si/Direktur Jaringan Strategis dan Kerja Sama InMind Institute.