Catatan Cak AT: Palestina Sesudah Assad
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Bashar al-Assad, pria yang dijuluki "Singa Damaskus" baru saja terlempar dari tahtanya.
Sebuah revolusi kilat menggulung Aleppo, mengguncang Damaskus dan menggiring Assad dan keluarga mencari kuasa ke Moskow, Rusia pada 8 Desember 2014. Di sana ia sedang merenungkan nasib masa depan.
Kekuasaan Assad runtuh usai serangan mengejutkan dari kelompok-kelompok oposisi, di antaranya Hayat Tahrir al-Syam (HTS), selama 12 hari.
Dinasti Assad telah berkuasa di Suriah selama 54 tahun. Pada 2000, Bashar al-Assad menggantikan ayahnya, Hafez al-Assad yang berkuasa sejak 1971.
Rakyat Suriah mungkin kini merasa "merdeka" dan segera memulai reformasi. Namun, mari kita alihkan perhatian kepada tetangganya, Palestina, yang telah lebih lama terkoyak.
Sebuah tragedi yang terus menghiasi doa-doa kita. Pertanyaannya: apa dampak kejatuhan Assad terhadap perjuangan rakyat Palestina melawan penjajahan Israel?
Sebagai salah satu "pilar" dalam poros perlawanan terhadap Israel, Suriah di bawah Assad sering memposisikan dirinya sebagai pendukung setia Palestina.
Namun, jangan terjebak oleh retorika ini. Selama puluhan tahun, rezim Assad lebih sibuk menjaga kekuasaannya yang despotik ketimbang membantu perjuangan rakyat Palestina.
Hamas bahkan pernah diusirnya dari Damaskus pada 2012 karena mendukung oposisi Suriah. Sebaliknya, Assad dengan mudah membiarkan Hizbullah berjuang di negerinya.
Kini, dengan kejatuhan Assad, apakah Palestina kehilangan sekutu, atau justru terbebas dari beban seorang "sekutu palsu"?
Bagi Israel, kejatuhan Assad menghadirkan skenario rumit. Netanyahu tahu, Suriah di bawah Assad memang musuh, tetapi musuh yang bisa diprediksi.
Assad sibuk berperang melawan rakyatnya sendiri, memungkinkan Israel berurusan dengan masalah lain tanpa ancaman signifikan dari perbatasan utara.
Namun, dengan hilangnya Assad, ketidakpastian mengemuka. Israel menyambut jatuhnya Assad dengan ucapan selamat, tetapi juga pada hari yang sama langsung mengebom Damaskus.
Jadi tanda tanya, apakah kelompok oposisi yang kini berkuasa akan menjadi ancaman nyata, atau hanya akan terpecah-belah seperti biasanya?
Apa pun jawabannya, satu hal pasti: Israel akan memanfaatkan perubahan ini untuk memperkuat kebijakan keamanannya, memperluas permukiman ilegal, dan, tentu saja, meminta lebih banyak dukungan dari Amerika Serikat. Mungkin juga, Netanyahu memanfaatkan situasi untuk memperkuat posisinya di dalam negeri.
Sejak saat Assad tumbang, Israel sudah lebih dari 300 kali menyerang negara tetangganya ini. Di saat pemerintahan Suriah kosong, badan pemantau HAM Suriah melaporkan peningkatan aksi bersenjata Israel ke negara itu.
"Kami mendokumentasikan 310 serangan oleh pesawat tempur Israel," katanya seperti dikutip dari AFP, Selasa (10/12/2024).
Kepada Reuters, sumber keamanan Suriah juga menyatakan bahwa tentara Israel sudah berada 25 kilometer dari ibu kota Suriah, Damaskus. Itu dilakukan sehari setelah Israel merebut buffer zone di selatan Suriah.
Israel dan Suriah adalah musuh bebuyutan sejak 1940-an. Bahkan, saat ini, Israel menduduki Dataran Tinggi Golan di Suriah. PBB telah menetapkan daerah itu sebagai milik Suriah.
Bagi rakyat Palestina, kejatuhan Assad tidak benar-benar mengubah kenyataan bahwa perjuangan mereka melawan penjajahan Israel tak pernah lepas dari pengkhianatan, termasuk dari dunia Arab sendiri.
Selama ini, negara-negara Arab lebih sibuk dengan konflik internal atau mempertahankan rezim masing-masing. Palestina telah lama belajar bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya mengandalkan dukungan dari negara-negara Arab.
Namun, ada potensi perubahan. Jika kelompok-kelompok baru di Suriah berhasil menciptakan pemerintahan yang inklusif, Palestina mungkin menemukan sekutu yang lebih tulus.
Suriah bisa menjadi pintu menghancurkan Israel. Tentu saja, ini harapan besar, bahkan mungkin utopis, mengingat dinamika politik Timur Tengah.
Kisah ini terasa seperti drama satir. Assad, yang dulu mengaku sebagai pelindung Palestina, kini kabur ke Rusia bersama keluarganya.
Sementara itu, rakyat Palestina tetap berdiri di garis depan perlawanan. Israel, seperti biasa, sibuk memanfaatkan kekacauan untuk memperluas cengkeramannya atas nama "stabilitas regional."
Dunia internasional? Mereka terus memainkan peran klasiknya: mengeluarkan pernyataan prihatin sambil menyeruput kopi di ruang diplomasi ber-AC.
Pada akhirnya, perjuangan rakyat Palestina melawan penjajahan Israel tetap berakar pada keteguhan hati, keberanian, dan semangat mereka sendiri—bukan pada janji-janji kosong para pemimpin Arab.
Kejatuhan Assad adalah babak baru dalam drama panjang Timur Tengah. Namun, bagi Palestina, cerita yang sebenarnya tetap sama: melawan penjajahan, melawan ketidakadilan, sambil mencari dunia yang benar-benar berdiri bersama mereka, bukan sekadar menonton dari tribun. Palestina tidak membutuhkan lebih banyak janji atau pidato; mereka membutuhkan tindakan nyata.
Sementara negeri-negeri seperti Iran, Irak, dan Yaman dengan alasan mereka sendiri menunjukkan aksi nyata dalam menghadapi Israel, dunia Arab lainnya masih sibuk merenung.
Atau, mungkin, menunggu babak baru drama Timur Tengah. Sesuatu yang, sayangnya, selalu berulang di panggung politik Timur Tengah. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 11/12/2024