Korsel Sudah Beberapa Kali Darurat Militer, Ini Daftarnya
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK – Rakyat Korea Selatan (Korsel) terguncang setelah Presiden Yoon Suk-Yeol mengumumkan keadaan darurat militer pada Selasa (3/12/2024), pukul 22:23 waktu setempat. Saling tanya penyebabnya menjalar ke seluruh penjuru. Situasi sempat memanas saat kendaraan militer bermunculan.
Namun, dekrit darurat militer itu hanya bertahan selama 6 jam, karena setelah pukul 01.00 dini hari keesokan hari, Rabu (4/12/2024), parlemen Korsel membatalkan keputusan presiden itu.
Sejumlah media melaporkan, Negeri Gingseng itu mengalami salah satu peristiwa politik paling dramatis dalam beberapa tahun terakhir ketika Presiden Yoon Suk-Yeol mengumumkan darurat militer, dengan alasan "pasukan anti-negara merencanakan pemberontakan."
Krisis tersebut terjadi selama 157 menit yang menegangkan sebelum anggota parlemen memberikan suara untuk mencabut darurat militer.
Pada Rabu (4/12/2024) pukul 04:30 pagi waktu setempat, darurat militer secara resmi dicabut mengakhiri kericuhan politik dalam semalam.
Untuk diketahui, darurat militer adalah kondisi yang ditetapkan oleh pemerintah dengan kekuasaan militer diutamakan dan diaktifkan untuk menangani situasi darurat yang dianggap sangat berbahaya, seperti ancaman keamanan, kerusuhan besar, atau ketidakstabilan politik.
Dalam kondisi tersebut, pemerintah bisa membatasi kebebasan sipil, mengaktifkan tentara untuk menegakkan hukum, dan sering kali menerapkan pembatasan atau larangan pada aktivitas publik, seperti pertemuan massa atau media.
Darurat militer biasanya dimaksudkan untuk memastikan kestabilan dan keamanan negara dalam situasi krisis.
Korea Selatan sebenarnya telah beberapa kali memberlakukan darurat militer dalam sejarah modernnya, terutama pada periode-periode ketegangan besar, baik di dalam maupun di luar negeri.
Beberapa peristiwa besar yang melatarbelakangi darurat militer di Korea Selatan (Korsel) di antaranya:
1. Perang Korea (1950-1953)
Pada masa Perang Korea, yang berlangsung antara 1950 hingga 1953, Korea Selatan berada dalam ancaman besar dari pasukan Korea Utara yang didukung oleh Uni Soviet dan China. Ketika pasukan Korea Utara menyerbu ke selatan, pemerintah Korea Selatan mengumumkan darurat militer untuk mengatasi situasi perang dan melibatkan kekuatan militer untuk pertahanan negara.
2. Kudeta Militer (1961)
Pada 16 Mei 1961, seorang perwira militer Jenderal Park Chung-hee, melakukan kudeta militer dan menggulingkan pemerintahan sipil yang sah. Setelah kudeta tersebut, Park Chung-hee mengumumkan keadaan darurat militer, yang memungkinkan dia untuk mengambil alih pemerintahan dan mengubah sistem politik negara Korea Selatan, yang kemudian berlanjut pada pemerintahan otoriter di bawah kepemimpinan Park.
3. Kerusuhan Gwangju (1980)
Pada Mei 1980, setelah Presiden Park Chung-hee dibunuh pada 1979, Korea Selatan menghadapi periode ketidakstabilan politik. Pemerintah militer yang dipimpin oleh Jenderal Chun Doo-hwan mengambil alih kekuasaan, dan ketika terjadi protes besar di Gwangju yang menuntut pemulihan demokrasi, militer menanggapi dengan kekuatan besar. Untuk mengendalikan situasi, pemerintah mengumumkan keadaan darurat militer, yang berlanjut dengan pembatasan kebebasan dan pengendalian ketat terhadap gerakan protes. Kerusuhan Gwangju menjadi salah satu peristiwa paling tragis dalam sejarah modern Korea Selatan.
4. Ancaman dari Korea Utara
Selain peristiwa-peristiwa di dalam negeri, darurat militer juga pernah diberlakukan sebagai respons terhadap ancaman eksternal dari Korea Utara. Ketegangan antara kedua negara, yang tetap berlanjut sejak berakhirnya Perang Korea, terkadang memicu Korea Selatan untuk memperkuat kekuatan militer dan menyiapkan keadaan darurat untuk mengantisipasi potensi serangan atau invasi dari Korea Utara.
Secara keseluruhan, darurat militer di Korea Selatan lebih banyak terjadi pada masa-masa ketegangan politik domestik dan ancaman dari luar, terutama dalam konteks Perang Korea dan ketidakstabilan politik di dalam negeri. Kebijakan darurat militer ini seringkali memunculkan kontroversi, karena seringkali digunakan untuk mengendalikan oposisi politik dan menekan kebebasan sipil, serta memperkuat kekuasaan pemerintah yang ada. (Diolah dari berbagai sumber)