Home > Kolom

Semiotika Candaan Gus Miftah

Dengan begitu, penafsiran atas candaan Gus Miftah demikian sangat beragam. Tentu saja, yang paling gampang adalah dengan melakukan penghakiman.
Gus Miftah, candaan dengan penafsiran yang beragam. (Foto: Dok Republika)
Gus Miftah, candaan dengan penafsiran yang beragam. (Foto: Dok Republika)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- “Kono didol, goblok” (sana dijual goblok), kata-kata itu jadi viral di media sosial. Dilontarkan oleh pendakwah Gus Miftah dalam sebuah kesempatan.

Sontak, seperti biasanya, netizen (warganet) menjadi riuh mengkritik, bahkan tak sedikit yang mencaci maki utusan khusus presiden bidang kerukunan beragama dan pembinaan sarana keagamaan itu.

Sebelumnya diberitakan, dirinya menjadi sorotan di media sosial imbas potongan video yang mengolok pedagang es dan air mineral keliling di sebuah pengajian. Bahkan tokoh di sampingnya sampai terpingkal-pingkal.

Dalam perspektif komunikasi, khususnya semiotika (ilmu tanda), kita sadar bahwa media sosial kerap hanya menyajikan potongan-potongan realitas, atau dikenal dengan istilah “second hand reality”.

Sehingga, konsep filosofisnya, bahwa apa yang kita lihat bukan “realitas”, akan tetapi representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas sesungguhnya, yang tidak bisa kita tangkap. Yang kita tangkap hanyalah tampilan (appearance).

Dengan begitu, penafsiran atas candaan Gus Miftah demikian sangat beragam. Tentu saja, yang paling gampang adalah dengan melakukan penghakiman.

Misalnya menilai Gus Miftah tidak punya adab, tidak punya akhlak, tidak memanusiakan manusia, tidak mencerminkan seorang ulama dll. Ya, penghakiman adalah hal paling mudah ketika kita menafsir “realitas-realitas” viral semacam itu. Dan, inilah yang terjadi dalam setiap keriuhan berita viral yang bisa hadir kapan saja.

Dalam trandisi NU, candaan atau yang biasa disebut “Gojlogan” memang kental. Sebuah budaya lucu-lucuan yang dilakukan oleh sesama santri di pesantren. Namun demikian, tidak ada yang merasa disakiti atau tersakiti karena gojlogan tersebut hanya dimaksudkan untuk membuang rasa jenuh.

Bagi yang pernah “mondok” pasti pernah mengalaminya, dan kadang “Gojlogannya” sangat “Gila-Gilaan”. Mungkin ada yang bilang, apa yang dilakukan Gus Miftah itu bukan “Gojlogan” tapi “Penghinaan”. Silakan saja, saya hanya berbagi perspektif.

Pasca kejadian itu, banyak netizen (warganet) yang kemudian mencari keberadaan Sang Bapak penjual es teh itu. Tak sedikit yang menggalang dana, kelak untuk diberikan kepada Sang Bapak.

Apakah tindakan demikian baik? Bisa jadi. Tapi, apakah tindakan demikian tidak lepas dari semacam godaan “Panjat Sosial” (Pansos) yang kerap dilakukan konten kreator, memanfaatkan situasi dan kondisi untuk kepentingan (konten) pribadi? Kita tidak pernah tahu hati orang.

Hanya, saya melihat, kalau kita mau bandingkan dengan kasus sebelumnya. Sepertinya ada standar ganda. Misalnya seorang tokoh politik yang bercanda soal “Janda”, dan jelas sebuah penghinaan.

Ternyata, karena bagian dari kelompoknya, dianggapnya biasa saja. Sementara, ketika Gus Miftah yang saya kira melakukan hal yang hampir mirip sama, bencinya luar biasa. Ini yang patut direnungkan.

Walau, saya pribadi menilai, apa yang dilakukan Gus Miftah sepertinya memang bukan semacam candaan atau “Gojlogan”, tapi lebih condong pada olok-olok dan penghinaan

Tetapi, hidup, semacam gambaran filsuf Albert Camus memang terkadang absurd. Saya kira hanya hati dan pikiran yang bisa menyelamatkan.

Kalau hati dan pikiran penuh kebencian, yang tampak hanya satu saja yaitu kesalahan. Sebaliknya, kalau hati dan pikiran penuh kecintaan, yang terjadi kemudian adalah perbaikan dan keindahan. (***)

Penulis: Yons Achmad/Pengamat Komunikasi. Pendiri Brandstory.ID

× Image