Home > Ekonomi

Integrasikan Data Iklim Agar Petani Bisa Antisipasi Fenomena Cuaca Ekstrem

Perubahan iklim telah menyebabkan dampak signifikan, dengan fenomena cuaca ekstrem yang mempengaruhi hasil panen.
Ilustrasi kegiatan buruh tani di sebuah area sawah di Kelurahan Bukit Tunggal, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Senin (28/10/2024). (Foto: Antara)
Ilustrasi kegiatan buruh tani di sebuah area sawah di Kelurahan Bukit Tunggal, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Senin (28/10/2024). (Foto: Antara)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK - Integrasi data iklim ke dalam perencanaan kebijakan pertanian di Indonesia menjadi semakin mendesak untuk menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Sebab, perubahan iklim telah menyebabkan dampak signifikan, dengan fenomena cuaca ekstrem yang mempengaruhi hasil panen, seperti penurunan produksi kopi hingga 20% dan peningkatan harga beras di 74 kabupaten. Data menunjukkan bahwa situasi ini berpotensi semakin parah dalam 5-10 tahun ke depan.

Survei Ubinan Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa petani yang mengalami dampak negatif perubahan iklim berpeluang besar mengalami penurunan produktivitas, dan 20% petani kita mengalami dampak negatif dari perubahan iklim, seperti banjir dan kekeringan.

Board Member Center for Indonesia Policy Studies (CIPS), Kadir Ruslan mengatakan integrasi data iklim dalam perencanaan pertanian membantu petani meningkatkan produktivitas dan meminimalkan dampak perubahan iklim, karena memungkinkan adaptasi lebih cepat dan efektif terhadap perubahan cuaca tak terduga.

“Integrasi data iklim dengan kebijakan pertanian di banyak negara, termasuk Indonesia, masih belum optimal. Data iklim yang tersebar di berbagai institusi dan kurangnya kerangka kebijakan yang memadai, menjadi penghambat penggunaan data ini secara efektif dalam sektor pertanian,” ujar Kadir Ruslan di Jakarta, Rabu (30/10/2024).

Sebagai negara yang bergantung pada sektor pertanian, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengadopsi teknologi pertanian modern. Meskipun teknologi pertanian dapat membantu petani beradaptasi dengan perubahan iklim, mayoritas petani masih bergantung pada metode konvensional yang menghambat daya saing di tengah kebutuhan pangan yang meningkat.

Faktanya sampai sekarang integrasi data iklim dalam kebijakan pertanian Indonesia masih terbatas. Meski pendekatan yang direkomendasikan oleh FAO seperti Climate-Smart Agriculture (CSA), sudah diterapkan di beberapa negara, penerapannya di Indonesia belum merata. Akses terbatas terhadap data iklim yang akurat dan minimnya kapasitas petani dalam memanfaatkan teknologi modern menjadi kendala utama.

Petani kita, lanjutnya, kebanyakan masih mengandalkan metode tanam tradisional, sehingga kesulitan dalam menentukan masa tanam dan panen dengan perubahan cuaca. Dampaknya, produktivitas menurun, dan biaya produksi membengkak.

Di sisi lain, laporan Global Food Security Index (GFSI) 2022 menunjukkan Indonesia pada peringkat ke-63 dari 113 negara, dengan skor moderat 60,2 untuk ketahanan pangan. Ketergantungan terhadap komoditas tertentu, seperti gandum, beras, dan jagung, yang menyuplai 55% kalori masyarakat, memperburuk kerentanan pangan. Diversifikasi sumber pangan dibutuhkan untuk menghadapi potensi tidak tersedianya sumber pangan tertentu akibat perubahan iklim yang ekstrim.

Untuk mengatasi hal ini, peningkatan kapasitas petani sangat penting. Melalui edukasi dan pelatihan, petani dapat belajar memanfaatkan data iklim untuk menentukan waktu tanam, memilih varietas tanaman yang tepat, dan mengelola sumber daya seperti air secara efisien.

Selanjutnya adalah perlunya penguatan kolaborasi lintas sektor, seperti teknologi informasi, penelitian ilmiah dan ekonomi, untuk menciptakan solusi yang komprehensif. Indonesia juga membutuhkan kebijakan yang adaptif agar lebih fleksibel terhadap perubahan iklim.

Sampai saat ini, kebijakan pertanian dan pangan yang tidak konsisten menyebabkan distorsi pasar dan mengurangi insentif untuk peningkatan produktivitas, misalnya pembatasan impor dan pengendalian harga yang ketat.

Dari perspektif global, Ivana Ema Pavkova, Analis TMP, menegaskan pentingnya mengantisipasi dampak perubahan iklim di masa depan dan memprioritaskan strategi untuk meningkatkan ketahanan iklim. “Integrasi data iklim sebagai faktor risiko utama dalam perencanaan pertanian dapat menjadi langkah strategis untuk ketahanan pangan yang lebih baik, dengan pendekatan yang seimbang antara produksi domestik dan perdagangan,” ujarnya.

Melalui beberapa pendekatan ini, diharapkan sektor pertanian Indonesia akan lebih tangguh menghadapi tantangan perubahan iklim dan dapat terus menopang kebutuhan pangan nasional. ***

× Image