Kebijakan Intensifikasi Dorong Peningkatan Produktivitas Pangan
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK - Kebijakan intensifikasi dapat mendorong peningkatan produktivitas pangan melalui pemanfaatan lahan yang ada secara optimal dan memaksimalkan penggunaan input pertanian berkualitas.
“Alih-alih menambah areal tanam baru atau ekstensifikasi, arah kebijakan yang lebih mendesak untuk dilakukan adalah mengoptimalkan lahan yang ada atau intensifikasi,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Sarah Firdausi di Jakarta, Senin (21/10/2024).
Penelitian CIPS menunjukkan adanya urgensi untuk mengadopsi intensifikasi guna meningkatkan produktivitas pangan, terutama di tengah melambatnya hasil per hektar beberapa komoditas utama seperti padi, kedelai, dan bawang dalam beberapa tahun terakhir ini.
“Kami juga melihat ketimpangan produktivitas antar daerah yang masih belum teratasi,” imbuhnya.
Dicontohkan, produktivitas pertanian padi di Jawa mencapai 5,64 ton per hektar, 23 persen lebih tinggi dibandingkan luar Jawa yang hanya 4,58 ton per hektar. Meskipun luas panen padi di luar Jawa mencakup sekitar 50 persen dari total luas panen padi nasional, kontribusinya terhadap produksi padi nasional hanya sebesar 44 persen.
Faktor-faktor penentu seperti akses irigasi, penggunaan pupuk, dan penerapan pola tanam “jajar legowo” yang mengatur jarak antar benih menjadi kunci peningkatan produktivitas padi di luar Jawa. Karakteristik tanah yang beragam juga perlu diperhatikan untuk mengoptimalkan hasil pertanian di luar Jawa. .
Perluasan lahan bukanlah satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas. Selain terbatasnya lahan yang masih memungkinkan untuk dibuka untuk pertanian, pembukaan lahan-lahan pertanian baru juga merupakan solusi yang tidak berkelanjutan karena meningkatkan deforestasi dan mengurangi daya dukung lingkungan.
Upaya untuk meningkatkan produktivitas pangan dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi lahan yang sudah ada, peningkatan kapasitas petani dan revitalisasi alat pertanian serta pabrik-pabrik yang sudah tua.
Kebijakan intensifikasi relevan dengan kondisi sektor pertanian Indonesia saat ini yang luas lahan tanamnya terus berkurang. Pembukaan lahan baru justru dapat meningkatkan deforestasi dan merusak lingkungan. Fokus seharusnya pada efisiensi lahan yang ada, peningkatan kapasitas petani, serta revitalisasi alat dan pabrik pertanian yang sudah tua.
Dalam konteks kebijakan, Sarah menyoroti potensi risiko UU Cipta Kerja yang mengizinkan alih fungsi lahan pertanian demi proyek strategis nasional, meski dengan syarat jaringan pengairan tetap dipertahankan. Namun hal ini justru berpotensi memperparah konversi lahan pertanian. ”Kepastian kepemilikan lahan harus diperkuat melalui program registrasi dan formalisasi, demi ketahanan pangan dan kesejahteraan petani,” tegasnya.
UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan mengecualikan lahan yang memiliki jaringan pengairan lengkap dari lahan pertanian yang boleh dialih fungsikan. Hal ini menjadi pijakan penting untuk menjaga lahan pertanian tetap produktif di tengah pertumbuhan penduduk yang pesat.
“Peningkatan kapasitas petani sangat penting. Penguatan melalui pelatihan, penyuluhan, dan pembimbingan mengenai alat pertanian modern serta pembaharuan metode tanam sangat diperlukan. Efisiensi panen dan pasca panen harus menjadi fokus utama, karena para petani seringkali menghadapi kendala seperti akses bibit, pupuk, modal, dan lahan kecil,” tutup Sarah. ***