Distorsi Pemahaman Etika Ketika Pihak yang Tidak Ikut Praktik Korupsi Dianggap Bukan Team Player
RUZKA INDONESIA -- Dr. Meutia Irina Mukhlis, pengajar di Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI), mengatakan bahwa sebagian pejabat atau orang-orang yang memiliki posisi bermartabat di masyarakat yang seharusnya memberikan teladan, cenderung terlibat dalam praktik korupsi.
Dari sudut pandang filsafat, situasi ini mengindikasikan adanya permasalahan yang sangat serius di Indonesia dalam hal korupsi.
Kekuasaan tampaknya memanjakan sejumlah politisi, dan slogan-slogan untuk menyejahterakan rakyat di awal karier mereka akhirnya tinggal kenangan.
Dia berpendapat, dalam deontologi --teori filsafat moral yang menegaskan baik buruknya perilaku berdasarkan kewajiban-- praktik korupsi adalah suatu kecacatan dari segi moral dan etika.
“Korupsi, suatu tindakan yang oleh sistem etika mana pun dinilai buruk atau tercela, namun telah menjadi suatu budaya di Indonesia. Ini menunjukkan adanya suatu distorsi dalam pemahaman kesadaran etika kita, di dalam budaya kita sendiri. Hal ini mengakibatkan suatu perbuatan tercela justru mendapatkan rasionalisasi dan kemudian dilanggengkan," ujar Mutia.
Dia mengemukakan bahwa pihak yang tidak ingin ikut serta dalam praktik korupsi justru rentan terkena sanksi sosial, karena dianggap bukan “team player”.
Sementara mereka yang turut serta dalam korupsi diberikan imbalan instan, seperti proyek dan kenaikan jabatan.
“Ini menandakan bahwa pemahaman tentang kesadaran etika atau moral di Indonesia terbolak-balik, yang benar menjadi salah, sementara yang salah menjadi benar. Ini sebenarnya berbahaya sekali di jangka panjangnya. Kita begitu merendahkan atau menyepelekan nilai dari kebenaran, kejujuran, dan keadilan,” jelasnya.
Dalam survei yang diadakan Centre for Strategic and International Studies pada 2023, diketahui bahwa kepercayaan publik kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya 58,8 persen, dan KPK menjadi lembaga negara kedua dengan kepercayaan publik terendah setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ketidakpercayaan publik terhadap lembaga antikorupsi mengindikasikan kegagalan sistem hukum dan politik di Indonesia dalam mencegah korupsi dan menegakkan keadilan.
Dr. Meutia menilai negara yang memiliki budaya korupsi yang rendah, seperti Singapura, telah memiliki kesadaran hukum yang tinggi karena para pelanggar aturan akan dihukum secara tegas.
Selain itu, pemerintahnya juga memiliki keseriusan dalam menjalankan negara dalam rangka memberikan pelayanan yang baik kepada rakyatnya. Akibatnya, rakyat merasakan manfaat yang diberikan oleh pemerintahnya dan dapat merasa bangga dengan pencapaian-pencapaian negaranya.
Menurutnya, sistem nilai yang buruk tidak akan pernah menghasilkan suatu bangsa yang maju dan kuat secara sehat. Dari sudut pandang filsafat, korupsi melemahkan ketahanan nasional, baik dari segi ekonomi, sosial, terutama moral.
Korupsi secara terang-terangan mengakibatkan pembangunan ekonomi tidak merata dan tidak tepat sasaran karena orientasi pengelolaan ekonomi negara lebih mengarah kepada kepentingan kelompok tertentu saja.
Hal ini mengakibatkan terbatasnya dana untuk membangun infrastruktur sosial secara memadai. Akibatnya, visi memberikan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang berkualitas untuk masyarakat sulit untuk dicapai.
Sulit untuk menentukan siapa pihak yang paling bertanggung jawab menghentikan korupsi karena sifatnya yang sudah membudaya dan sistemik.
Oleh karena itu, Dr. Meutia menegaskan pentingnya menghentikan korupsi dari diri sendiri.
“Bisa dimulai dengan mengatakan kata ‘tidak’ pada tawaran-tawaran untuk korupsi dan kemudian konsisten memegangnya di tengah gempuran tekanan dan godaan. Jika ini berhasil dilakukan, jumlah pelaku korupsi yang ada dapat berkurang meskipun hanya satu, yaitu diri kita. Tindakan kitalah yang dapat mengubah realitas kita sendiri,” terangnya.
Sementara itu, untuk menegakkan hukum, perlu diberikan sanksi yang tepat agar para pelaku korupsi jera.
Dr. Meutia berpendapat bahwa sanksi yang tepat adalah mengembalikan jumlah kerugian yang diakibatkan secara penuh dan menjalani masa tahanan sesuai dengan jumlah kerugian yang diakibatkan.
Lebih lanjut, para koruptor tidak boleh diperkenankan untuk menduduki posisi pimpinan di insitusi sosial mana pun atau mencalonkan diri sebagai pejabat publik selamanya. Untuk hukuman maksimal, Dr. Meutia menyetujui dengan penjara seumur hidup tanpa kemungkinan grasi atau amnesti.
Demi memulihkan moral bangsa, Dr. Meutia menekankan perlunya revolusi mental atau revolusi budaya yang lebih radikal lagi.
Dia mengatakan, utamanya, perlu redefinisi siapa kita serta mau ke mana kita sebagai bangsa dan negara. Tentu ini bukan pekerjaan mudah. Upaya pemulihan moralitas memang tidak pernah mudah, memakan waktu lama, dan harus dilakukan bersama-sama.
"Dalam konteks ini, pemerintah memegang peranan penting karena pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan, dan karenanya harus memberikan contoh perilaku berbudaya yang lebih tinggi dan bermoral," ungkap Dr. Meutia. (***)