Fisip UI Teliti Kebebasan Media dalam Jurnalistik Digital
ruzka.republika.co.id--Kebebasan bermedia menjadi tolok ukur untuk melihat sejauh mana fungsi jurnalisme diselenggarakan secara profesional oleh institusi media.
Jika ditinjau secara normatif, ada dua regulasi media yang memengaruhi praktik jurnalisme digital di Indonesia, yaitu Undang-Undang (UU) Pers dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU Pers secara normatif merupakan landasan hukum untuk seluruh aktivitas pers dan jurnalisme yang ada di Indonesia.
Sementara itu, UU ITE tidak secara formal menjadi payung hukum jurnalisme digital di Indonesia.
Hal ini disampaikan oleh promovenda Mufti Nurlatifah saat memaparkan disertasinya yang berjudul “Kebebasan Bermedia pada Jurnalisme Digital di Indonesia (Studi terhadap Regulasi Media dan Kasus Jurnalisme Digital 2008–2020)” pada sidang terbuka promosi doktor yang diadakan oleh Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI).
Sidang promosi doktor tersebut diketuai oleh Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc.; dengan promotor Dr. Nina Mutmainnah, M.Si.; Prof. Dr. Sulistiyowati Irianto, M.A.; dan kopromotor Dr. Pinckey Triputra. Tim penguji dalam sidang tersebut adalah Dr. Ade Armando, M.Sc.; Dr. Dadang Rahmat Hidayat, S.Sos., S.H., M.Si.; Kuskrido Ambardi, Ph.D.; dan Dr. rer. soc. Masduki.
Dalam penelitiannya, Mufti melihat bahwa kebebasan bermedia pada jurnalisme digital tak hanya bertumpu pada keputusan struktural ruang redaksi yang mengedepankan peran gatekeeping media.
Pada praktik jurnalisme dengan platform digital, terdapat media digital sebagai medium, yang juga turut memengaruhi keputusan yang diambil jurnalis dan institusi media dalam mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi.
Mengacu pada kondisi ideal dan kondisi di Indonesia, Mufti menyimpulkan bahwa kebebasan bermedia pada jurnalisme digital dielaborasi sebagai prinsip yang melekat pada media yang bekerja secara otonom untuk menjalankan perannya bagi publik dalam memproduksi dan mendiseminasikan informasi melalui platform media digital.
Pada konteks ini, media merupakan jurnalis dan institusi media profesional, yang dijustifikasi melalui lisensi institusional, kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik, komitmen mereka terhadap kepentingan publik, dan pemanfaatan media digital pada gatekeeping yang mereka jalankan.
Dari penelitian yang dilakukan Mufti, menunjukkan konsekuensi media digital memengaruhi ruang redaksi melalui adopsi teknologi yang dilakukan oleh jurnalis dan institusi media.
Kontrak sosial atas kebebasan bermedia pada akhirnya tidak berhenti pada regulasi media, namun pada batas toleransi penggunaan teknologi media dalam ruang otonom redaksi, karena hal tersebut juga berdampak bagi fungsi dan peran media untuk publik.
Mufti juga memberi rekomendasi dan saran dari penelitian yang sudah dilakukannya, yaitu operasionalisasi atas kebebasan bermedia dengan menggunakan indikator lain memungkinkan untuk dilakukan.
Kebebasan bermedia merupakan socio-legal construction, yang mengombinasikan gatekeeping role dan ekspektasi aspek normative media.
“Dalam pandangan socio-legal construction, kebebasan bermedia juga merupakan bagian dari praktik jurnalistik sehari-hari karena adopsi atas teknologi oleh jurnalis dan institusi media dapat dilakukan dalam kondisi sadar dan tidak sadar, sehingga kontrak sosial atas kebebasan bermedia juga berkembang,” jelas Mufti.dalam keterangan yang diterima, Senin (26/06/2023). (Rusdy Nurdiansyah)