Home > Olahraga

Debat Panas Wartawan Gegara Israel dan Putusan FIFA

Pro dan Kontra FIFA putuskan Indonesia gagal sebagai penyelenggaran Piala Dunia U-20
Para pemain Timnas Indonesia U-20 tampak kecewan FIFA putusan pembatalan Indonesia jadi tuan rumah Piala Dunia U-20.

ruzka.republika.co.id--Menolak Standar Ganda FIFA, Mencoret Rusia Bisa, Kenapa Israel Tidak. Begitu judul tulisan wartawan senior Suara Karya, Syamsudin Walad. Sontak tulisan tersebut menjadi debat panas di kalangan para wartawan di group WA, Kamis (30/03/2023), baik yang pro maupun kontra, FIFA putuskan Indonesia gagal sebagai penyelenggaran Piala Dunia U-20.

"Pemerintah Indonesia seharusnya tak perlu takut menolak Timnas Israel berlaga di Piala Dunia U-20. Apalagi FIFA kerap menjalankan standar ganda dan tebang pilih dalam menerapkan sanksi. Perlakuan berbeda diterima Timnas Rusia saat dicoret dari kualifikasi Piala Dunia 2022," jelas wartawan yang akrab disapa Kawan Syam ini.

Lewat tekanan negara-negara sekutu AS, FIFA sebagai badan tertinggi sepak bola dunia dan UEFA sebagai otoritas sepak bola Eropa dengan gagahnya mengeluarkan maklumat, seluruh tim Rusia, baik tim nasional maupun klub, dilarang ambil bagian dari kompetisi yang berada di bawah naungan FIFA dan UEFA.

"Imbasnya peluang timnas Rusia untuk mentas di Piala Dunia 2022 kandas. Mereka didepak dari babak playoff yang semula dijadwalkan menghadapi Polandia. Kemudian klub elite Rusia Spartak Moskow juga dicoret dari babak 16 besar Liga Europa. Spartak seharusnya akan bertemu RB Leipzig pada 11 Maret 2022," papar Kawan Syam.

Menurut Kawan Syam, jika FIFA mencoret Timnas Rusia dengan alasan kemanusiaan, mengapa sikap tegas FIFA tidak berlaku bagi Timnas Israel? Padahal Israel sudah jelas-jelas melanggar kemanusiaan selama bertahun-tahun dan menjadi negara penjajah.

"Harusnya Israel sudah dibanned FIFA sebelum bisa melangkah ke putaran final Piala Dunia U-20 layaknya Rusia yang langsung dicoret saat kualifikasi Piala Dunia 2022," tegasnya.

Tulisan Kawan Syam tersebut mendapat reaksi keras dari sejawatnya, wartawan senior Suryansyah yang juga merupakan Sekjen Seksi Wartawan Olahraga (SIWO) Persatuan Waratawan Indonesia (PWI) Pusat. Pro dan kontra terus bergulir, hingga akhirnya FIFA memutuskan membatalkan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia.

"Kasus Rusia bukan standar ganda FIFA. Rusia kan pas hangat-hangatnya invasi ke Ukraina. Dan banyak tekanan dari negara-negara Eropa untuk banned Rusia," terang Suryansyah yang kecewa mendalam FIFA putuskan Indonesia gagal sebagai penyelenggaran Piala Dunia U-20.

Suryansyah semakin kecewa karena sebagai Sekjen SIWO PWI Pusat sudah didepan mata memperoleh tiket terusan untuk menyaksikan Piala Dunia U-20. "Kasian para pemain yang sudah mati-matian berlatih. Ketika Indonesia tempo hari disanksi FIFA, berapa banyak pemain bola nganggur. Betapa sedihnya para pemain muda gagal tampil di Piala Dunia, sedihnya anak-anak sekolah sepak bola yang punya cita-cita jadi pemain sepakbola dunia," tuturnya.

Ia menambahkan, Dubes Palestina tidak keberatan Tim Israel datang ke Indonesia. "Ini untuk main bola, bulan politik. Sedih, Indonesia sudah bidding sejak 2019 bersaing dengan negara lain untuk jadi tuan rumah. Tapi, gagal karena hanya menolak Israel," terang Suryansyah yang akhirnya menuangkan kekecewaan melalui tulisannya berjudul Habiskan Dana Triliunan, FIFA Batalkan Indonesia sebagai Tuan Rumah Piala Dunia U-20.

"Keputusan FIFA tentu melukai pecinta sepak bola di tanah air. Pun membuyarkan impian besar remaja Indonesia berlaga di event sepak bola dunia kelas dua itu. Bukan hanya itu, sederet sanksi siap menanti PSSI. Palu godam FIFA bisa mematisurikan sepak bola Indonesia. Belum lagi kerugian negara yang sejak 2019 mengikuti bidding sebagai calon tuan rumah Piala Dunia 2023," jelas Suryansyah.

Dicoretnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Pasalnya, Indonesia sejak awal sudah menggelontorkan anggaran triliun rupiah terkait penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Tercatat pada tahun 2020, pemerintah menganggarkan 600 miliar rupiah untuk anggaran acara dan persiapan Timnas.

"Kemudian pada Juni 2022, eks Menpora Zainuddin Amali minta tambahan anggaran dana sebesar Rp3 triliun untuk pengembangan olah raga dan sebanyak Rp500 miliar untuk persiapan Piala Dunia U-20. Lalu ada juga perbaikan infrastruktur olah raga dari Kementerian PUPR dengan suntikan dana mencapai Rp314 miliar untuk renovasi stadion ditambah Rp175 miliar," ungkap Suryansyah.

***

Cukup menarik disimak juga komentar wartawan senior Farid Gaban di salah satu WA group bahwa, fenomena Ganjar dan Koster (PDIP) yg menolak Israel ini menarik dan memberi perspektif baru. Selama ini, isu Palestina cuma disuarakan oleh kelompok dan partai Islamis, yang terdepan PKS.

Ketika kelompok nasionalis sekuler seperti PDIP ikut bersuara, orang sadar bahwa isu mendukung Palestina tidak cuma eksklusif Islam, tapi tentang kemanusiaan yang luas.

Polarisasi lama Islamis vs nasionalis, yang kemarin sangat kental, tidak terjadi dalam kasus sepakbola ini. Dan, itu justru pertanda positif. Mudah-mudahan orang makin sadar bahwa mereka selama ini cuma diadu-domba untuk kepentingan politik elit.

Orang Islamis maupun nasionalis semoga akan makin sadar bahwa mereka sebenarnya punya hal-hal penting yang layak diperjuangkan bersama. Tidak cuma tentang Israel, tapi juga tentang menguatnya oligarki, tentang ketimpangan dan ketidakadilan dan tentang kerusakan alam.

Farid juga menegaskan, kesebelasan Indonesia ikut turnamen Piala Dunia karena menjadi tuan rumah, bukan karena prestasi ikut pra-kualifikasi dari bawah seperti Irak dan Uzbekistan.

Apa yang mau disedihkan kalau tidak ikut Piala Dunia? Karena prestasi sepakbola yang direndahkan? Prestasi apa?

Anak-anak remaja U-20 yang cengeng kecewa tak bisa main di Piala Dunia ini mirip remaja yang suka naik Rubicon hanya karena bapaknya kaya dan bisa beli. Bukan karena prestasi.

Kalau mau membangun sistem sepakbola dengan benar, bangun dari bawah dan dari keadaban, salah satunya dengan menghormati yang tewas di Kanjuruhan, dan berempati kepada keluarga yg ditinggalkan.

***

Tulisan Denny Siregar ini cukup jadi pilihan di simak berkaitan dengan sikap FIFA membatalkan Piala Dunai U20.

Sejak awal saya sudah menduga bahwa FIFA akan membatalkan Piala dunia U20 di Indonesia. Hanya, sesudah itu jadi resmi, saya baru bisa menulis itu sekarang.

Pembatalan FIFA itu sebenarnya bukan hari ini, tetapi sudah beberapa hari lalu. Dan, ini sebenarnya tidak terkait dengan penolakan Ganjar, Koster dan PDIP.FIFA mendapat warning dari intelijen Israel yang terkenal akurat itu karena terbiasa menjaga negerinya dari kemungkinan serangan negara-negara Arab tetangganya.

Peristiwa Munich tahun 1972 adalah titik tolak intelijen Israel. Mereka tidak ingin kecolongan lagi karena itu berarti muka mereka seperti ditampar 2 kali.

Israel memberi warning ke FIFA dan FIFA dengan otoritasnya membatalkan pertandingan di Indonesia, karena jika ada penyerangan terhadap Timnas Israel, maka beresiko juga pada timnas dari negara lainnya. Harganya terlalu mahal untuk dibayar.

Lalu kenapa Ganjar, Koster dan PDIP harus menolak, kalau mereka sudah tahu bahwa FIFA batal sejak jauh hari? Kenapa Presiden harus bicara tegas menerima dan Erick Thohir harus terlihat berangkat untuk melobby?

Semua itu adalah drama saja. Drama supaya masing-masing pihak tidak kehilangan muka, baik pihak Indonesia, FIFA, maupun Israel juga. Semuanya senang. Ada kesepakatan bersama supaya semuanya smooth dan tidak ada yang disalahkan.

Ada juga drama politik, supaya tidak ada pihak lain atau partai lain yang ingin memanfaatkan situasi ini supaya dapat simpati. Semua menunggangi ombak supaya dapat keuntungan citra.

Kita hanyalah penonton yang senang diberikan tontonan drama. Saling berdebat, saling mengejek, dan membuat drama itu menjadi hiburan yang menyenangkan. Kita punya tokoh dalam angan masing-masing. Ada yang suka dengan Jokowi. Ada yang jatuh cinta pada Erick. Ada yang memaki Ganjar. Ada protagonis, ada antagonis.

Tapi jauh dari itu semua, negeri ini tetap aman. Pembatalan FIFA adalah harga termurah yang harus kita bayar. Besok juga lupa, ada lagi peristiwa menarik yang harus kita ributkan.

Nikmati saja semua, semudah kita menikmati secangkir kopi di depan kita. (Rusdy Nurdiansyah)

× Image