Menuju Aksesi FCTC dan TC IPM, IISD Gelar Diseminasi dan Diskusi Riset
ruzka.republika.co.id--Di tengah kondisi global dimana tren rokok mengalami penurunan, hingga dunia kini bahkan telah memproklamirkan rokok sebagai artefak dari masa lalu (a thing of the past), Indonesia justru semacam anomali.
Dalam perbandingan rilis survey GATS 2011 dan 2021 dijelaskan selama kurun waktu 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021.
Survei tersebut juga menunjukkan hampir 8 dari 10 (75 persen) pemuda usia produktif (25-40 tahun) adalah perokok aktif.
Kondisi mengkhawatirkan ini juga dirasakan oleh masyarakat sipil, salah satunya organisasi keagamaan Persyarikatan Muhammadiyah terkhusus Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang memiliki basis masa pelajar.
Mencermati fakta keras dan memprihatinkan dampak konsumsi produk hasil tembakau yang semakin tak terkendali tersebut, serta telaah terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait pengendalian tembakau, bersama dengan Indonesia Institute for Social Development (IISD), Tobacco Control Ikatan Pelajar Muhammadiyah (TC IPM) menyelenggarakan diskusi media sekaligus launching hasil riset bertajuk, “Data Outlook Perokok Pelajar 2022: Menuju Aksesi FCTC dan Pengembangan Infrastruktur Kesehatan Global dengan Pendekatan Konsep Protection For All (Perlindungan Untuk Semua)” pada Rabu (08/02/2023) di Aula Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, TC IPM bersama IISD dan Peneliti Universitas Prof.DR. HAMKA (UHAMKA) telah melakukan riset berskala nasional yang melibatkan sebanyak 1275 responden pelajar SMP dan SMA di 175 Kabupaten/Kota yang dipublikasikan dalam Data Outlook Perokok Pelajar 2022.
Terdapat banyak temuan penting dari riset tersebut, antara lain sebanyak 26,25 persen responden mengaku pernah merokok. Sebanyak 32,4 persen mengaku sebagai perokok jenis rokok elektrik, dan yang patut kita cemaskan, sebagia diantara pelajar yang merokok tersebut mengaku mulai merokok di usia 5 tahun.Data-data temuan riset tersebut lebih lanjut disampaikan oleh Nashir Efendi (Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah).
Nashir menyebut bahwa riset ini mengungkapkan bahwa anak pertama kali merokok sejak PAUD dengan persentase 0,28 persen.
"Sementara itu, anak pertama kali merokok dengan persentase terbanyak ialah sejak kelas 7 SMP yaitu sebesar 2,54 persen. Temuan ini diikuti dengan persentase terbanyak kedua yaitu kelas 6 SD sebesar 1,41 persen,” ujar Nashir.
Mayoritas responden mengaku bahwa mereka mengenal rokok pertama kali lewat teman (46,32 persen), sementara beberapa diantaranya menyatakan mengaku mengetahui rokok pertama kali melalui lingkungan (12,5 persen), dan iklan (11,03 persen).
Beberapa lainnya mengetahui rokok melalui teman dan lingkungan (13,97 persen), dan lainnya (3,68 persen).Nashir menambahkan, bahwa mayoritas responden mengaku bahwa motif yang mendorong mereka untuk merokok ialah karena stress (29,41 persen), penasaran (24,26 persen), merasa keren (0,74% persen), karena terintimidasi (2,21 persen), kebutuhan (3,68 persen), dan karena solidaritas (7,35 persen).
“Dalam perspektif cara membeli rokok, pelajar membeli rokok secara ketengan yaitu 86,77 persen. Angka ini terhitung besar dibandingkan yang membeli bungkusan yaitu 13,23 persen,” jelas Nashir.
Menariknya, riset ini juga mengemukakan bahwa pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tidak sepenuhnya diterapkan dengan baik. Hal itu dibuktikan dengan temuan dimana di lingkungan pendidikan masih ada yang menjual dan di sekitarnya masih terdapat baliho-baliho berisi iklan rokok.
“Sebanyak 32,3 persen pelajar mengaku mereka pernah merokok di sekolah. Ada celah dimana para pelajar dapat merokok di tempat dimana karakter pelajar seharusnya dibina. 78,43 persen pelajar terpapar asap rokok dan 29,8 persen di antaranya terpapar di sekolah. Lagi-lagi pendidikan kita belum menjamin sterilnya kesehatan sebab disini masih ditemukan kasus dimana pelajar merokok di sekolah,” terang Nashir.
Sebanyak 78,43 persen responden dalam penelitian ini mengaku terpapar asap rokok dalam sebulan terakhir. Jumlah ini terhitung besar apalagi tingkat keterpaparan ini terjadi di tempat-tempat public seperti di tempat bermain (54,98 persen), tempat umum (34,82 persen), sekolah (29,8 persen), tempat ibadah (16,08%), dan rumah (49,33 persen).Pembahasan selanjutnya dalam diskusi ini dilanjutkan oleh Tien Sapartinah (Adviser IISD).
Tien dalam pemaparannya mengapresiasi riset yang telah dilakukan oleh TC IPM bersama dengan IISD ini. Menurut Tien, survey sunguh-sungguh diperhitungkan baik dari substansi, desainnya, dan dari segi metodologinya.
Satu hal yang menarik dari riset ini, pensurvey dan orang yang disurvey berasal dari generasi yang sama. Maka, komitmen perlu diperkuat oleh enam penyelenggara negara: Yudikatif, eksekutif, legislatif, dunia usaha, masyarakat sipil, dan media.
Kalau komitmen dan gerakan perlu diperkuat lagi.“Kita berharap Indonesia mengacc FCTC itu. Pertama, tidak ada pasal dalam FCTC yang menentang hukum nasional. Kedua, sebagai landasan hukum di tingkat global, maka akan berpengaruh baik terhadap keamanan nasional. Ketiga, ada 12 pasal dalam FCTC sepanjang itu tidak bertentangan dengan hukum nasional, paling tidak ada pernyataan seperti itu.
Keempat, belum lama ini presiden dalam G20 mengatakan akan mendukung global health maka ada alsan kuat untuk mengacu FCTC,” jelas Tien.Tak kalah menarik, pembicara selanjutnya Anwar Abbas (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah) menyebut bahwa ketika berbicara rokok, terdapat banyak perbedaan keputusan dari tiap organisasi. Nahdlatul Ulama Jawa Timur, misalnya, mengatakan bahwa merokok itu mubah.
Ada yang menyatakan bahwa merokok hukumnya makruh dan ada yang mengatakan bahwa merokok itu hukumnya haram, seperti Muhammadiyah, misalnya.
"Tidak cukup melihat rokok hanya dari satu pendekatan. Setidaknya pendekatan irfani, burhani, dan bayani. Dan lebih 7000 jurnal internasional dari rokok yang saya baca tidak satupun mengatakan bahwa rokok itu baik. Dalam kesimpulan saya, merokok ini benar-benar tidak baik. Dan dia akan mencabut kebahagiaan,” ujar Anwar.
Kegiatan ini turut dihadiri oleh media-media lokal sebagai peserta diskusi. Sesaat sebelum sesi diskusi, hasil riset dan paparan narasumber ditanggapi oleh Agus Suprapto (Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK RI), Benget Saragih (Ketua Tim Kerja Pengendalian Akibat Tembakau Dirjen P2P Kemenkes RI), dan Diyah Puspitarini (Sub Komisi Advokasi KPAI).
Agus Suprapto (Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK) menyampaikan apresiasinya terhadap riset yang telah dilakukan dan mengajak semua pihak untuk konsisten di dalam isu pengendalian tembakau dan terus melakukan kegiatan semacam.
Sementara itu, Benget Saragih (Ketua Tim Kerja Pengendalian Akibat Tembakau Dirjen P2P Kemenkes RI) mengungkapkan bahwa riset ini membuat kami di Kemeskes semakin semangat dalam melakukan upaya pengendalian tembakau.
Tak kalah menarik, Diyah Puspitarini (Sub Komisi Advokasi KPAI) mengatakan bahwa kita tidak bisa melihat persoalan rokok hanya dari hulu atau hilir saja. Dalam perspektif KPAI ada empat hak dasar anak dan dalam urusan rokok, yang harus diperhatikan adalah tumbuh kembang anak.
Di akhir, Romo Soedibyo Markus menutup kegiatan diskusi ini sembari mengajak dan meneguhkan agar tidak putus asa untuk terus menggerakkan pengendalian tembakau. (Rusdy Nurdiansyah)