Home > Olahraga

GBK Riwayatmu....

Semoga kedepan PPK-GBK, KONI, para cabor, dapat berjalan beriringan dan saling menguntungkan.
M. Nigara: Mantan Direksi PPK-GBK, Wartawan Olahraga Senior

Catatan tanggapan atas protes beberapa pihak...

Penulis M. Nigara: Mantan Direksi PPK-GBK, Wartawan Olahraga Senior

ruzka.republika.co.id - SEPULUH tahun sudah berlalu saya meninggalkan kursi Direktur Pembangungan dan Pengembangan Usaha (PPU) PPK-GBK, 2009-2012. Namun secara fisik, saya tak pernah benar-benar meninggalkan lingkungan Senayan. Sejak menjadi wartawan olahraga, 1979, saya selalu ada dan berada di lingkungan GBK, hingga hari ini.

Beberapa sahabat kuliah tiba-tiba mengirimkan perkembangan apa yang sedang terjadi di GBK. Ada juga sahabat, mantan wartawan olahraga dan mantan atlet nasional mengirimkan hal yang sama. Intinya protes terkait apa yang sedang dan telah terjadi di GBK hari-hari ini.

Jauh sebelum itu, cabang-cabang olahraga mengalami kesulitan untuk menggunakan _venue-venue_ di sana. Malah KONI Pusat, hanya sekedar untuk kantor, berulangkali listriknya dimatikan, bahkan sempat akses _lift_ ditutup, hingga menujunke lantai 8-12, harus naik tangga dalam gelap.

Padahal, apa yang dilakukan KONI Pusat dan cabor-cabor, semata-mata hanya untuk mengharumkan nama negara di kancah internasional. Mereka bertarung untuk membela merah-putih.

Ironisnya,Direksi lewat regulasi PPK-GBK, memperlakukan KONI dan para cabor, sama seperti pengguna umum (baca: pengguna untuk kepentingan non-olahraga dan sosial politik, yakni komersial. Harus memesan _venue_ lewat _on-line_, dua minggu sebelum kegiatan.

Perlakuan yang sungguh tak pernah terpikir sebelumnya oleh mereka para praktisi olahraga, khususnya mereka atlet-atlet nasional. Perlakuan yang terasa tidak normal. Perlakuan yang jauh dari tujuan awal GBK untuk memberi suport penuh pada dunia olahraga.

Dulu Bung Karno membangun komplek keolahragaan 1960 dan digunakan untuk Asian Games 1962, serta Ganefo 1963, semata-mata untuk kepentingan olahraga. Untuk kemajuan para atlet di kancah Asia dan Dunia.

*Buah Simalakama*

Februari tahun 2009, saat saya mulai menjabat Dir PPU-GBK, Mensesneg Hata Rajasa memberikan pesan singkat: "Layani dunia olahraga nasional dengan sebaik-baiknya. Tapi, jangan lupa rawatlah seluruh peninggalan Bung Karno dengan sebaik-baiknya juga, " tegasnya.

Demikian pula ketika Pak Sudi Silalahi menggantikan posisi Mensesneg ketika SBY memimpin Republik periode kedua. "Saya tidak ingin ada protes dari masyarakat olahraga kita," ujar Pak Sudi.

Tapi, ketika masih di era Pak Hata maupun Pak Sudi, protes sudah terjadi. Masalahnya pun hampir sama dengan yang terjadi saat ini. Soal kesempatan dunia olahraga yang dikalahkan oleh kegiatan komersial.

Contoh, _event internasional_ cabor sepakbola di masa saya, biaya sewanya berkisar Rp 400 juta perhari. Sementara komersial Rp 1,2 m. Masing-masing menggunakan 3-5 hari. Harga persiapan dan penyelesaian berkisar Rp 100- Rp 200 juta untuk sepakbola, Rp 400- Rp 600 juta untuk komersial. Maka jelas perbedaan perbandingannya.

Sungguh, satu pilihan yang sangat sulit. Dan setiap ada benturan _event_, saya dan para direksi saat itu, pasti juga saat ini, sangat tidak mudah untuk mengambil keputusan.

Jika mengingat misi dan tujuan, maka memilih sepakbola adalah yang terbaik. Tapi, jika kita dihadapkan pada pemeliharaan dan gaji karyawan, maka jelas komersial sangat kita butuhkan. Persis seperti buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan, ayah yang mati.

Nah, situasi inilah yang membuat pengelola PPK- GBK menjadi bulan-bulanan. Apalagi jika basis utama mereka yang protes memang tidak mau tahu atau menggunakan istilah pokoknya, maka sungguh pengelola seperti _sansak_ yang menjadi obyek pemukulan latihan tinju, tanpa bisa berbuat lain.

Pak Hata dan Pak Sudi, sama-sama pernah bertanya: "Bagaimana PPK-GBK bisa maksimal melayani olahraga?"

Saya jawab: " Jangan biarkan PPK-GBK melayani yang lain, kecuali olahraga!"

Lalu, keduanya bertanya di tempat dan waktu berbeda: "Apa langkahnya?"

"Berikan PPK-GBK, APBN," jawab saya.

Sebagai gambaran, di era Pak Bambang Prajitno direktur utama, hingga 2011, dan atau saat Pak Suradji menjadi dirut, serta Pak Novel Hasan menggantinya. Pemasukan PPK-GBK dari BOT dan sejenis, kemudian sewa _venue_ untuk berbagai _event_, olahraga dan yang lain. Kemudian dari sewa lahan untuk _Billboard_ serta LED, tahunan. Juga umbul-umbul dan sewa pengelolaan Hotel Atlet Century, sayang angkanya tidak lebih dari Rp 190 miliar pertahun.

Tidak sebanding dengan luasnya GBK, 279,1 hektar. Apalagi jika melihat 20 tahun terakhir, GBK berada di lokasi emas. Tetapi, soal pemasukan, faktanya menyedihkan. Secara logika, harusnya PPK-GBK bisa meraih angka di atas Rp 500 miliar pertahun.

Ini sudah termasuk lokasi yang digunakan untuk Diknas, Jl. Sudirman, DPR/MPR/DPD, dan Kemenhut di jl. Gatot Subroto, TVRI dan Kemenpora di jl. Gerbang Pemuda, seluruhnya tidak kurang dari 40 hektaran, sama sekali tidak menghasilkan apa pun.

Sementara, hampir dari seluruh BOT yang ada, maaf, hasilnya juga sangat memprihatinkan. Tidak memberikan keuntungan bagi GBK apalagi untuk dunia olahraga nasional.

Seperti ada Benteng

PPK -GBK, didukung Komisi II DPR-RI, tahun 2010-2012, berusaha melakukan re-negosiasi untuk semua perjanjian yang sudah dilakukan jauh sebelum 2009. Namun sayang, gagal. Seperti ada sesuatu yang membentengi perjanjian itu.

Sebagai contoh. Di sekitar senayan saat ini, harga sewa kantor per-meter per-bulan, berkisar, Rp 200 ribu. Bayangkan jika ada bangunan di GBK seluas 32.000 meter persegi, berapa sebulannya dan berapa setahunnya. Secara selintas Rp 76, 8 miliar. Lalu, ada berapa BOT yang jumlah meter perseginya lebih dari 32 ribu meter?

Semua kasat mata dan bisa dilihat berapa sesungguhnya mereka membayar BOT dan berapa pemasukan riil GBK. Uniknya, meski perjanjian tidak menguntungkan PPK-GBK, toh tidak bisa diubah. Sekali lagi seperti ada benteng yang menghalangi.

Artinya, pengelola PPK-GBK sejak sebelum era saya hingga yang bertugas hari ini, tetap tidak mampu berbuat maksimal. Padahal, jika pemasukan dihitung secara normal, pasti akan memperoleh hasil yang jauh lebih besar. Dan pasti dapat membantu dunia olahraga dengan baik dan benar.

Akibatnya? Ya, pengelola terpaksa melakukan pilihan untuk mengedepankan hiburan jauh lebih besar ketimbang olahraga. Jika dilihat dari tujuan awal, jelas langkah ini keliru. Tapi, jika melihat kebutuhan perawatan dan gaji karyawan serta operasional lainnya, maka langkah direksi dari masa ke masa, hendaknya bisa dimaklumi.

Begitu juga, jika melihat pada tujuan Bung Karno membangun GBK, maka para cabor dan para mantan atlet yang protes, sama sekali tidak keliru. Hanya saja, ketika diperlihatkan pada kebutuhan dana untuk pengelolaan, perawatan, gaji, dan operasional, harusnya mereka juga bisa memahami.

Nah, melihat situasi yang ada, maka, menurut catatan saya, semua pihak tidak dapat dioersalahkan. Tahun 2012-2013, telah dilakukan rapat panjang, antara PPK-GBK, KONI, KPK, BPK, dan DPR-RI. Tapi, lagi-lagi sulit menghasilkan rumusan untuk _memback-up_ nya.

Mungkin perlu dibentuk satu tim lagi yang berasal dari para _stakeholder_ yaitu, Pemerintah: Kemenkeu, Setneg, Kemenkumham, dan Kemenpora (pemegang UU SKN no. 11/2022), BPK, KPK, DPR, KONI (sebagai Induk para cabor), serta Para Pimpinan cabor serta PPKGBK. Tim _Task Force_ untuk mencari jalan keluar yang terbaik bagi semua.

Tim dimaksud bekerja maraton untuk melahirkan regulasi yang dapat diterima semua pihak. Regulasi yang menguntungkan dunia olahraga (para atlet nasional dan kegiatan pelatnas, baik untuk _single_ maupun _multi event_ ) dan mengamankan pengelola GBK dari ancaman tidak mampu merawat dan menggaji.

Regulasi, jika perlu masuk dalam UU SKN atau dicantolkan pada UU apapun yang membuat kedudukan semua pihak terlindungi. Maklum, beberapa kali ada upaya pihak tertentu untuk mengambil GBK. Yang paling gencar menjelang Asian Games lalu.

Lapangan golf Senayan, akan diubah menjadi wisma atlet dan kemudian dialihkan rusunawa. Ide yang bagus, tapi salah lokasi.

Dan beruntung rencana itu gagal karena kegigihan Pak JK, Wapres saat itu.

Sebagai catatan, dari masa ke masa, baru saat inilah pengelola PPK-GBK tidak memiliki kedekatan dengan dunia olahraga. Bahkan, maaf, tidak berlebihan jika saya menyebut buta olahraga.

Sebagai masukan, Setneg perlu memikirkan dan menetapkan, para direksi mengerti dengan baik dunia olahraga. Beruntung Ketua Dewas, Prof. Edward Omar Sharif Hiariej yang kebetulan menjabat sebagai Wamenkumham, adalah penggiat olahraga tenis, artinya, sang Ketua dewas pasti bisa diajak bicara secara olahraga.

Semoga kedepan PPK-GBK, KONI, para cabor, dapat berjalan beriringan dan saling menguntungkan. Terpenting semua pihak terlindungi oleh UU.

Semoga bermanfaat....

× Image