Jakarta Tidak Jadi Ibu Kota, Pendapat Multiperspektif dan Pembangunan Terintegrasi
ruzka.republika.co.id--Setelah Rancangan Undang-undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) diresmikan menjadi Undang-undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Januari 2022, maka UU tersebut akan menjadi payung hukum untuk pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke wilayah Kalimantan Timur (Kaltim).
Meskipun demikian, Jakarta tetap akan bertumbuh baik dari segi politik, kelembagaan, ekonomi, sosial, dan lainnya.Secara kelembagaan nasional, Jakarta adalah ruang kosong yang dapat diisi dengan tata kelembagaan yang lebih baik lagi, sehingga nasib Jakarta tanpa status ibu kota akan menjadi sebuah momentum besar untuk memperbaiki segala hal yang ada di Jakarta.
Hal ini disampaikan Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si., dalam acara diskusi interaktif yang diselenggarakan oleh klaster riset Democracy and Local Governance (DeLOGO) Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), pada Kamis (27/10/2022).
Sementara itu, dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosisal dan Ilmu Politik (FISIP) UI Drs. Andrinof Achir Chaniago, M.Si., mengatakan salah satu dari sekian alasan pemindahan ibukota adalah memudahkan menata kembali kota Jakarta. Dengan berkurangnya beban, maka Jakarta bisa berfokus pada penataan dan peningkatan kualitas kota yang selama ini menghadapi banyak masalah.
“Ada implikasi kewenangan, bisa juga muncul gagasan untuk me-reform sistem kelembagaan. Tentunya hal ini bukan menjadi suatu masalah yang besar. Isu yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengisi peluang yang muncul dengan adanya kekosongan kelembagaan di Jakarta. Pengosongan sebagai fungsi Jakarta memberi peluang untuk memperbaiki kualitas kota Jakarta baik dari segi fisik, lingkungan, sosial, tata ruang, dan lain-lain,” jelas Andrinof.
Secara sosiologis, kelas menengah dan kelas atas yang ada di Jakarta dalam kurun waktu lima atau sepuluh tahun ke depan pasca pembenihan IKN secara resmi, akan tetap memilih tinggal di Jakarta karena pertimbangan kenyamanan, kemudahan, investasi, dan fasilitas yang ada di Jakarta.
Selain itu, menurut pengamat tata kota Dr. Yayat Supriatna, MSP., Jakarta akan tetap memiliki daya tarik yang kuat sebagai kota utama karena adanya faktor diversity, density, design, dan transit dengan penduduk kota lebih dari 12 juta jiwa. Ia menambahkan saat Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota negara, maka Jakarta akan tetap memiliki kewenangan khusus untuk mengintegrasikan sistem transportasi, perumahan dan permukiman, lingkungan dan pencegahan bencana, wisata, serta investasi antarwilayah Jabodetabek.
Prof. Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc. selaku dosen FISIP UI, menyebut bahwa diperlukan sebuah langkah membangun urban citizenship untuk membangun komunitas-komunitas di dalam masyarakat yang akan mempermudah tata kelola di kota Jakarta saat sudah tidak lagi menyandang status sebagai ibu kota negara.
“Tidak terlalu sulit menata masyarakat Jakarta jika dibangun dari komunitas-komunitas kecil dan dasar terlebih dahulu. Pasalnya, secara sosiologis semua masyarakat akan terikat pada komunitasnya baik karena kesamaan kepentingan, suaranya dapat didengar dalam satu komunitas, pengalasan sosial, maupun alasan-alasan lainnya,” paparnya. (Rusdy Nurdiansyah)