Ayo, Kenali dan Cegah Kanker Payudara
ruzka.republika.co.id--Bulan Oktober diperingati sebagai Hari Kesadaran Kanker Payudara Internasional. WHO menyebutkan bahwa pada tahun 2020, terdapat 2,3 juta wanita yang terdiagnosis kanker payudara dan terdapat 685 ribu kematian akibat kanker payudara secara global.
Hingga akhir tahun 2020, terdapat 7,8 juta wanita yang didiagnosis menderita kanker payudara dalam 5 tahun terakhir.
Kanker payudara merupakan kanker yang paling banyak diderita di seluruh dunia.Hal itu terungkap dalam Seminar Awam Bicara Sehat yang digelar Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kanker payudara serta pencegahannya dengan Nara sumber dokter kanker RSUI, dr. Aris Ramdhani.
"Tumor merupakan sel yang tidak terkontrol. Bedanya dengan kanker dan tumor yaitu tumor adalah benjolan yang bersifat jinak, dikatakan kanker jika setelah dilakukan pemeriksaan mikroskop dinyatakan ganas. Penyebab kanker hingga saat ini tidak diketahui secara pasti, karena bersifat multifaktorial yaitu gabungan dari berbagai faktor yang saling berhubungan," ujar Aris.
Menurut Aris, beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kanker payudara yaitu riwayat keluarga dari garis ibu menderita kanker payudara, riwayat radiasi untuk pengobatan di daerah dada, usia menstruasi pertama kali sangat muda, usia menopause terlambat (lama mengalami menstruasi yaitu lebih dari 30 tahun), tidak pernah mengalami kehamilan yang lengkap (full term), usia saat pertama kali hamil lebih dari 35 tahun, tidak pernah menyusui bayi, menggunakan alat kontrasepsi hormonal pada wanita dengan risiko kanker payudara, menggunakan terapi hormonal setelah menopause dan berat badan berlebih.
“Ada faktor risiko yang tidak bisa diubah yaitu terkait riwayat keluarga dan genetik, sementara ada faktor risiko yang bisa diubah yaitu terkait menerapkan gaya hidup sehat, seperti mengonsumsi makanan yang bergizi seimbang dan rutin melakukan aktivitas fisik” jelasnya.
Aris mengutarakan, konsumsi buah dan sayuran dapat menurunkan risiko kanker payudara, terutama sayuran hijau. Selain itu, kandungan fitoestrogen pada kedelai juga dapat mengurangi kekambuhan. Sekitar 90 persen kasus kanker payudara tidak punya riwayat keluarga dan tidak ada jaminan orang yang tidak punya faktor risiko tidak akan terkena kanker.
Kanker payudara ternyata juga tidak hanya terjadi pada wanita, sebanyak 1 persen kasus kanker payudara terjadi pada pria.
“Maka dari itu pentingnya melakukan pencegahan dan deteksi dini dengan mewaspadai adanya benjolan. Semua wanita yang sudah mulai menstruasi berisiko terkena kanker payudara, karena ada hubungan antara kanker payudara dengan semakin lama dengan paparan estrogen. Deteksi dini yang paling efektif adalah dengan melakukan SADARI (Periksa Payudara Sendiri)," tuturnya.
Lanjut Aris, pemeriksaan SADARI sebaiknya dilakukan 7-10 hari setelah menstruasi agar mendapatkan hasil yang lebih akurat. Jika mendapati adanya kelainan pada payudara, maka harus secepat mungkin memeriksakan diri ke ahli medis.
Beberapa kelainan yang harus diwaspadai diantaranya, ada benjolan di payudara atau ketiak atau leher, perubahan kulit menebal, mengkerut, atau menjadi seperti jeruk purut, perubahan letak dan bentuk puting, keluar cairan dari puting bukan pada saat menyusui, nyeri pada payudara, dan luka sekitar puting yang tidak sembuh.
"Bagi perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun (direkomendasikan sejak usia 25 tahun) hendak melakukan pemeriksaan klinis payudara secara rutin ke dokter. Sementara bagi perempuan berusia 20-an tahun dapat mengunjungi dokter satu kali tiap dua tahun dan usia 30-an sekali setahun," terangnya.
Terapi pilihan pada kanker payudara adalah operasi. Diterangkan Aris, operasi akan mengeliminasi sumber kanker yang berpotensi melepaskan anak sebar dengan syarat kanker tersebut masih resectable atau tidak ada penyebaran jauh.
"Bila kanker bersifat invasif, operasi saja tidak cukup karena ada ancaman penyebaran di organ jauh, sehingga butuh terapi tambahan (adjuvan) yang bersifat sistemik (mengenai seluruh organ di tubuh). Cara lainnya yaitu dengan memberikan terapi sistemik sebelum operasi, mendahului terapi utama (neoadjuvan) untuk mengecilkan ukuran kanker dan mencegah timbul penyebaran serta meningkatkan angka harapan hidup pasien," paparnya.
Aris juga menyebutkan beberapa jenis pilihan operasi kanker payudara, diantaranya mastektomi, yaitu pengangkatan seluruh jaringan payudara dan umumnya disertai pengangkatan kelenjar getah bening di ketiak, Breast Conserving Surgery, yaitu tindakan pengangkatan kanker saja (tidak mengankat seluruh jaringan payudara) dengan syarat batas sayatan yang ditinggalkan bebas kanker dan wajib dilengkapi setelahnya dengan terapi radiasi, dan onkoplasti yaitu upaya rekonstruksi payudara yang bertujuan untuk mengisi rongga yang ditinggalkan dan membentuk kembali payudara.
"Sementara untuk opsi terapi non pembedahan yaitu ada yang bersifat lokal yaitu radioterapi dan bersifat sistemik contohnya kemoterapi. Jika benar terdiagnosis kanker payudara, prinsip penting pertama yaitu semakin dini stadium saat ditemukan maka semakin besar kemungkinan keberhasilan terapi," tegasnya.
Untuk para survivor kanker payudara, agar tetap melakukan follow up rutin untuk mencegah kemungkinan kambuh. Tetap lakukan SADARI setiap bulan, dan mammografi setiap 6-12 bulan untuk pasca Breast Conserving Surgery. Selain itu berhati-hati terhadap munculnya benjolan baru, nyeri tulang, nyeri dada, sesak, nyeri perut, dan sakit kepala menetap.
“Tiap perempuan yang sudah menstruasi berisiko mengalami kanker payudara. Sayangi diri kita dengan mengenali faktor risiko, lakukan gaya hidup yang sehat, serta jangan lupa untuk melakukan deteksi dini khususnya SADARI, karena deteksi dini akan menyelamatkan banyak nyawa," ungkap Aris.
Antusiasme peserta cukup tinggi terhadap kegiatan ini, dengan jumlah peserta sebanyak 60 orang yang terdiri dari tenaga kependidikan, mahasiswa, dan masyarakat umum. Banyak peserta yang mengajukan pertanyaan seputar tema yang tengah dibahas. Salah satunya terkait keamanan pengobatan herbal dan alternatif.
Aris mengatakan obat herbal hampir tidak membantu pengobatan, malah memperlambat penanganan dan penyembuhan, bahkan ada herbal yang dicampur obat kemoterapi, dan itu sangat berbahaya. "Obat-obat herbal tersebut belum lulus uji klinis. Sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan tenaga medis yang ahli," pungkasnya. (Rusdy Nurdiansyah)