Tanggapi Lonjakan Gangguan Gagal Ginjal Akut Anak, FKUI Sosialisasikan Peran Dokter Layanan Primer
ruzka.republika.co.id--Sejak akhir Agustus 2022, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah menerima laporan peningkatan yang tajam kasus Gangguan Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GgGAPA)/Acute Kidney Injury (AKI) pada anak, terutama pada mereka yang berusia di bawah 5 tahun.
Jumlah kasus yang dilaporkan hingga 18 Oktober 2022 sebanyak 206 yang tersebar di 20 provinsi dengan angka kematian pasien yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mencapai 65 persen.
Kemenkes RI bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Ahli Epidemologi, IDAI, Farmakolog, dan Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) melakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan penyebab dan faktor risiko yang menyebabkan gangguan Gagal Ginjal Akut pada anak.
Di sisi lain, para pakar dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengadakan webinar kesehatan untuk membahas pengaruh etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam sediaan obat sirup yang disebut-sebut sebagai penyebab gangguan Gagal Ginjal Akut pada anak.
Dekan FKUI, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB, menyampaikan, webinar ini dimaksudkan untuk memberi informasi mutakhir atas perkembangan kejadian gagal ginjal akut di Indonesia yang peningkatannya luar biasa.
FKUI dan RSCM telah memonitor terjadinya peningkatan kasus gagal ginjal yang dihubungkan dengan kemungkinan adanya kandungan etilen glikol dalam paracetamol. Pemerintah menghimbau agar masyarakat, untuk sementara waktu, tidak menggunakan sediaan berbentuk sirup, terutama yang mengandung paracetamol. Sampai sejauh ini, BPOM merilis 5 produk yang sudah ditarik dari peredaran.
“Kondisi ini memang cukup meresahkan masyarakat karena selama ini sediaan sirup menjadi andalan, baik oleh dokter maupun masyarakat, untuk mencari pertolongan pertama saat anak mengalami demam. Ketika disampaikan bahwa ada sesuatu yang dicurigai menyebabkan penyakit gagal ginjal, tentu ini membuat masyarakat panik. Oleh karena itu, para narasumber yang hadir kali ini akan menyampaikan upaya yang bisa dilakukan oleh para dokter untuk menenangkan masyarakat kita,” ujar Prof Ari dalam paparannya, Kamis (27/10/2022).
Terkait lonjakan kasus ini, dr. Eka Laksmi Hidayati, Sp.A(K) dari Divisi Nefrologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, menyebutkan bahwa gangguan ginjal akut merupakan kondisi klinis yang memiliki konsekuensi berat. Penyebabnya beragam dan timbul pada berbagai variasi klinis. Terapi AKI menjadi terbatas dan luaran menjadi buruk pada kasus yang terlambat didiagnosis. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa gejala AKI dapat dikenali dalam tiga fase, yaitu pre-renal, renal, dan post-renal.
“Sebagai dokter di layanan primer, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, sosialisasi gangguan gagal ginjal akut di kalangan puskesmas. Kita dapat membuat tim pemantauan yang bekerja sama dengan kader puskesmas untuk memantau balita yang terlapor mengonsumsi sirup demam, batuk pilek, maupun yang mengalami diare. Selanjutnya, kita melakukan pemeriksaan penunjang di puskesmas untuk konfirmasi awal dengan membuat SOP/alur pelaporan ke dinas kesehatan bila menemukan kasus, serta siaga dalam perujukan kasus,” jelas dr Eka.
Senyawa etilen glikol memiliki ciri-ciri. Menurut Staf Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, Prof. dr. Frans Suyatna, Ph.D., Sp.FK, etilen glikol tidak berwarna, tidak mudah menguap seperti alkohol, berbau aromatik, dan memiliki rasa manis sehingga menarik untuk dicampurkan dengan sirup.
Senyawa ini sebenarnya tidak digunakan untuk obat, tetapi merupakan anti-freeze atau anti pembekuan yang digunakan untuk radiator dan mesin kendaraan mobil pada musim dingin serta berguna sebagai solvent (bahan pelarut).
Prof. Frans menambahkan bahwa orang yang mengalami keracunan senyawa ini akan mengalami empat fase. Fase pertama, central nervous system (CNS) depression yang berlangsung selama 30 menit hingga 12 jam. Pada fase ini, orang mengalami mabuk, mual, dan muntah. Kemudian, fase kedua, terdapat gejala di paru-paru yang terjadi selama 12–24 jam.
"Pada fase ini terjadi deposit calcium oxalate. Fase ketiga, renal stage yang berlangsung selama 24–72 jam. Pada fase ini gangguan menyerang sistem imun. Fase keempat, late cerebral phase yang berlangsung selama 5–20 hari. Gejalanya, gangguan menyerang susunan syaraf pusat sehingga menyebabkan facial palsy, hearing loss, dan sebagainya," jelasnya.
Kasus gagal ginjal akut ini dapat disebut sebagai situsi outbreak. Staf Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, dr. Dewi Friska, MKK, mengutip pernyataan Gerstman (1988) bahwa outbreak atau kejadian luar biasa adalah peningkatan kejadian penyakit yang melebihi ekspektasi normal secara mendadak pada suatu komunitas, dibatasi tempat dan periode waktu tertentu.
Menurut dr. Dewi, kewaspadaan dokter di layanan primer dan masyarakat menjadi kunci utama dalam penanganan outbreak.
Dokter di layanan pimer menjadi garda terdepan dalam penanganan outbreak melalui pendekatan 5 level of prevention dan penatalaksanaan pasien secara holistik, komprehensif, kolaboratif, terpadu, dan berkesinambungan.
"Mereka harus menyadari bahwa kesehatan individu dipengaruhi oleh berbagai faktor yang juga perlu dikaji dan dievaluasi. Promotif, preventif, deteksi dini, dan tatalaksana awal menjadi poin utama dalam penanganan outbreak," ungkapnya.
Dokter di layanan primer perlu melakukan upaya kolaboratif dengan lintas sektor, masyarakat, kader kesehatan, sesama sejawat, dan dokter di fasilitas kesehatan sekunder dan tersier.
"Mereka perlu meng-update informasi dari sumber tepercaya agar masyarakat tetap tenang dalam menghadapi kondisi ini," pungkas dr Dewi. (Rusdy Nurdiansyah)