Arah Pemberitaan Ferdy Sambo
Arah Pemberitaan Ferdy Sambo
Oleh: Yons Achmad*
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) dalam bukunya The Elements of Journalism mengatakan bahwa loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens). Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses.
Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga (citizens). Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik.
Menyoroti kasus “Polisi Tembak Polisi” yang melibatkan petinggi polisi, ke mana pemberitaan diarahkan?
Diawal pemberitaan kasus, ada fakta ironi yang justru dilakukan oleh Dewan Pers, penjaga gerbang jurnalisme tanah air. Ketua Pengaduan dan Penegakkan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana melontarkan pernyataan yang serampangan. Banyak media, mengutip keterangan Yadi yang menyebutkan penulisan berita seharusnya bersumber dari keterangan Mabes Polri.
"Jadi begini, penjelasan Mabes Polri itu, ya, itu saja yang ditulis. Kemudian tidak boleh berspekulasi lebih jauh," kata Yadi seusai pertemuan dengan kuasa hukum keluarga Ferdy Sambo di Dewan Pers, Jumat (15/7/22).
Pernyataan itu disesalkan publik. Sorotan kritis publik muncul. Publik menilai, sebuah kesalahan besar kalau dewan Pers sampai bilang seperti itu. Akhirnya, Dewan Pers berikan klarifikasi. Menurut Yadi, ucapan yang dimaksud adalah sumber yang dapat dipertanggungjawabkan atau kredibel.
Ia juga sudah menyampaikan substansi himbauan Dewan Pers sebelum sesi tanya jawab. Atas kesalahan itu, Yadi menarik kembali ucapan terdahulu dan memohon maaf telah menimbulkan polemik. Yadi berkelit mengenai Dewan Pers Imbau wartawan hanya menyiarkan dari sumber resmi yang kemudian dimuat berbagai media sebagai sumber kepolisian adalah salah ucap atau 'Slip of the Tongue'.
Saya kira, ini kesalahan dasar, besar dan fatal Dewan Pers. Catatan kelam Dewan Pers yang tak bisa dianggap sebatas keseleo lidah saja.
Diawal kasus, di beragam media, yang dimunculkan memang keterangan resmi polisi. Bahwa kasus “Polisi Tembak Polisi” adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan korban.
Penembakan dilakukan sebagai bentuk pembenaran. Pejabat tinggi pemerintah selevel menteri, Kompolnas, Komnas HAM, juga seolah setuju dan percaya begitu saja dengan keterangan resmi polisi.
Sayangnya, kemudian warganet (netizen) melihat beragam kejanggalan. Sampai kemudian, media juga tersadarkan untuk tak melihat dari satu sisi (keterangan polisi) semata. Tapi, mencoba menggali fakta-fakta di lapangan.
Hasilnya seperti kita saksikan sekarang. Kasus pembunuhan “Polisi Tembak Polisi” yang menewaskan Brigadir Yosua, ternyata menyeret petinggi polri, Irjen Ferdy Sambo yang diduga kuat sebagai otak sekaligus pelakunya.
Presiden Jokowi menyebut kasus ini sebagai momentum bangun kepercayaan Polri di masyarakat. Harapan yang bagus, walau masyarakat tentu tak bakal benar-benar percaya kenyataan demikian bakal terjadi.
Kini, saya kira media perlu fokuskan arah pemberitaan. Ada dua peristiwa penting, saat penembakan dan sesudah penembakan. Jika hanya fokus pada saat penembakan, sangat mungkin kembali ke skenario awal Sambo. Peristiwa itu motifnya pelecehan semata. Kemudian, yang ada pemakluman, seorang suami jaga marwah dan kehormatan.
Tapi, jika fokus pada pasca penembakan, bagaimana Sambo ternyata berhasil mengorganisir kejahatan yang dilakukan melibatkan banyak oknum aparat lain, maka inilah yang seharusnya menjadi perhatian penuh media.
Termasuk tentu saja menjadi momentum membongkar skandal-skandal hukum Sambo sebelumnya. Soal FPI, Kebakaran gedung kejaksaan, juga dugaan kriminal lain.
Di situlah pemberitaan perlu diarahkan, bukan 'hanya' sebatas remeh temeh isu asmara dan perselingkuhan yang belum tentu terbukti kebenarannya. Juga urusan privat saja.
Media mesti keluar dari skenario dan rekayasa yang dirancang para pelaku kejahatan. Bongkar semuanya. Media bukan corong atau humas polisi yang hanya bisa “Beritakan yang baik atau diam” tapi sesuai khitah media, “Beritakan yang benar walau pahit.”
Begitu semestinya arus pemberitaan diarahkan. Dengan demikian, media menjadi bisa ikut berkontribusi dalam perwujudan rasa keadilan publik, bukan justru jadi corong aparat atau pejabat yang licik.
*Pengamat Komunikasi, tinggal di Depok