Perjalanan tak Mudah Rusdy Nurdiansyah
Perjalanan tak Mudah Rusdy Nurdiansyah
Catatan Asro Kamal Rokan*
LINCAH DAN GIGIH --- rangkaian kosa kata tersebut mungkin dapat mendekati sosok lelaki kelahiran Banda Aceh, 1 Agustus 1967 ini. Kelincahan dan kegigihan, dua di antara sejumlah faktor, yang mengantarkan Rusdy Nurdiansyah sukses meniti kariernya sebagai wartawan.
Awalnya, saat bergabung di Harian Republika, 1993, Rusdy bertugas sebagai periset foto. Di divisi ini, Rusdy berada di antara pewarta-pewarta foto senior dan handal. Ada Ali Said, Bahtiar Phada, Sony Soemarsono, dan Nonang MR, nama-nama yang sudah dikenal luas sebagai wartawan foto.
Beberapa tahun kemudian – entah bagaimana kisahnya, tapi saya yakin ini tentu karena kegigihannya – Rusdy telah menenteng kamera.
Dia berubah peran menjadi pewarta foto. Peluang ini tidak disia-siakannya. Beberapa foto karya Rusdy muncul di halaman depan Republika, di antaranya penangkapan Tommy Soeharto yang sempat jadi buronan.
Ketika Republika merekrut reporter baru, 2003, redaksi memasukkan nama Rusdy sebagai calon reporter tulis tanpa meninggalkan fungsinya sebagai wartawan foto. Masa itu ada kecenderungan, fotografer dan wartawan tulis dua identitas berbeda. Rusdy menjalani semua proses, meski sebelum bergabung dengan Republika, tulisannya sudah dimuat di berbagai media.
Ia memperlihatkan tulisan-tulisannya kepada saya, mungkin untuk meyakinkan bahwa ia terbiasa menulis. Tidak ada salah mencoba, meski tidak mudah meyakinkan kawan-kawan di redaksi.
Rusdy mengikuti semua proses dan lolos. Segera saja, redaksi memberikan berbagai penugasan berat dan tidak mudah, di antaranya konflik daerah operasi militer dan bencana tsunami Aceh.
Ia menjalaninya dengan baik. Dan, seperti tradisi di Republika – juga di beberapa media lain – pos penugasan, dalam kurun waktu tertentu, dipindahkan. Ini agar reporter memahami banyak bidang liputan.
Ia ditugaskan di desk Metropolitan, politik, olah raga, hiburan, bahkan melakukan perjalanan tidak biasa, menyusuri Malaysia, Thailand, Myanmar, Vietnam, Tibet hingga China selama sebulan, selain peliputan perbatasan Mesir-Palestina.
Berita-berita dan ficer yang ditulis alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Lenteng Agung ini, tidak jarang memicu reaksi.
Republika didemo. Ketika itu, April 2005, atas penugasan redaksi, Rusdy menulis laporan di halaman depan tentang konser group band Dewa di Trans TV. Dewa tampil dengan logo baru, bintang bersudut delapan. Bentuk dasar logo ini berasal dari salah satu kaligrafi Persia, biasanya tertulis kalimah Allah, namun dimodifikasi sehingga tulisan Allah tidak terlihat secara jelas. Nah, saat konser, logo yang dijadikan karpet tersebut diinjak personel Dewa.
Malam itu juga, reaksi muncul dari Ustadz Wahfiuddin, yang menelepon pengelola Trans TV. Pada lagu keempat, pertunjukan dihentikan. Manajemen Trans TV dan Dewa bertemu Ustaz Wahfiuddin dan minta maaf. Inilah yang ditulis Rusdy dalam judul “Laskar Cinta Sensasi Kebablasan Dewa”.
Sehari kemudian, Ahmad Dhani mendatangi Republika dengan membawa wartawan-wartawan infotainment. Suasana jadi riuh. Pada akhirnya, setelah minta maaf kepada umat Islam, Dhani mengganti logo tersebut dan terhindar dari tuduhan penistaan agama, meski sudah ada pihak yang melaporkan Dhani ke polisi.
Liputan sulit dan berbahaya dilakukan Rusdy. Masuk ke sarang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Desember 2002. Ini memperlihatkan watak kewartawanannya. Bersama reporter baru saat itu, Nur Hasan Mutiarji – kini wakil pemimpin redaksi Republika -- keduanya menggunakan berbagai cara untuk bisa masuk dan hadir saat ulang tahun dan pengibaran bendera GAM. Mereka menyewa mobil, melewati blokade TNI/Polri yang sangat ketat dan mempertaruhkan nyawa.
Bagi wartawan, dapat masuk ke sarang GAM, yang saat itu musuh negara, merupakan prestasi besar. Sangat sulit, penuh tantangan.Di perjalanan dari Banda Aceh ke Lhokseumawe, mereka dihadang pos-pos keamanan TNI/Polri dengan kawat berduri dan berbagai pertanyaan yang harus dijawab. Tidak saja blokade TNI/Polri, tapi juga dari GAM, yang menghadang dengan pohon-pohon yang mereka lintangkan di jalan sepi dan mungkin saja menembaki mobil yang mereka curigai.
Semangat mengalahkan ketakutan. Di perjalanan saat Ramadhan itu, kontak dengan GAM melalui pemandu, terus mereka lakukan. Kode rahasia, isyarat dengan kerdipan lampu senter, mereka amati di setiap tempat.
Tiba di Gampong Peudada, dinihari, mereka melihat cahaya senter kedap-kedip dari dalam kedai di pinggir jalan yang masih tutup. Mobil menepi. Mereka digiring ke belakang. Tidak lama, muncul empat orang dengan dua motor trail berboncengan.
Mata Rusdy dan Hasan ditutup kain. Mereka dinaikkan ke motor. Sekitar 15 menit perjalanan, mereka tiba di markas GAM. Di sini, mereka diperiksa dengan ketat oleh Tentara Nasional Aceh (TNA), berseragam militer, baret merah dan hijau, bersenjata laras panjang jenis AK 47.
Taktik dan komunikasi yang baik, dapat meyakinkan pihak GAM. Rusdy dan Hasan berhasil mengikuti prosesi ulang tahun dan pengibaran bendera GAM, yang saat itu dipimpin Panglima GAM Wilayah Batee Iliek, Teuku Darwis Jeunib. Mereka bahkan dapat mewawancarai Darwis Jeunib, yang dikenal tidak mudah memberikan keterangan.
Selesai? Belum. Saat keluar dari markas GAM, terdengar tembakan yang mengarah ke sepeda motor mereka. Tembakan tersebut dibalas pasukan GAM yang mengawal dua wartawan muda Republika itu. Situasi mencekam. Mereka terjebak, tiarap, dan berhasil lolos. Setahun kemudian, ada kabar bahwa Jaffar, sopir yang mengantar mereka ke markas GAM, tewas ditembak orang tak dikenal.
BERBAGAI KISAH perjalanan jurnalistik itu ditulis Rusdy dalam buku berjudul “22 Cerita di Balik Berita Jejak Sang Pendobrak”. Buku ini merupakan apresiasi Republika kepada Rusdy yang telah 30 tahun berkarier di surat kabar nasional ini.
Rusdy menulis pengalamannya dalam bahasa jurnalistik yang baik, bertutur, renyah, dan detil. Selama 30 tahun Rusdy melakoni jalan hidupnya sebagai wartawan dengan berbagai suka duka.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok dan pemegang Press Card Number One (PCNO) ini, bangga dan menikmati profesinya sebagai wartawan – pilihan jalan hidup yang tidak mudah di tengah gaya hidup serba benda, yang tidak jarang dapat dengan mudah menggerus idealisme.
Seorang wartawan lahir karena sikap kritis, kegelisahan, dan keberpihakan yang tegas pada kepentingan publik melalui berita-berita yang ditulisnya. Rusdy melakukannya dalam ruang dan ekosistem yang terkadang terbatas oleh sistem dan ragam kepentingan.
Tapi Rusdy dengan kelincahannya, berupaya bergerak, meski dengan kehati-hatian. Dengan modal yang dimilikinya – sikap kritis, kegelisahan -- Rusdy dapat mengayunkan langkah jauh lebih besar pada kemudian hari. Seorang wartawan tidak akan pernah berhenti berkarya hingga akhir hayat.
Kita menunggu karya-karya Rusdy dalam kegelisahan dan sikap kritis yang tidak padam itu – karya besar seorang petarung.
Jakarta, 6 Juli 2022
Asro Kamal Rokan
Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005)
Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN Antara (2005-2007)
Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat hingga kini
Presiden Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia Indonesia (ISWAMI) Indonesia