Home > Komunitas

Ketika Sang Manajemen Waktu Berpulang

Mas Bram meninggalkan kami setelah saya ditugaskan meliput Piala Dunia 2006 di Jerman.
Nano Bramono (kiri) pergi untuk selamanya.
Nano Bramono (kiri) pergi untuk selamanya.

ruzka.republika.co.id - "Silakan tunggu diluar dan temui sekretaris redaksi. Tidak ada toleransi bagi yang terlambat rapat!" Begitu tegas Bramono.

Saya hanya bisa diam. Ikuti perintah. Itu perkenalan saya di dapur redaksi Tabloid GO pada awal tahun 1997.

Saya, Herlina dan Rijal Alfurqon terlambat sekitar 5 menit. Kami tidak diperkenankan mengikuti rapat. Tak ada alasan apapun bagi Bramono. Telat sedikit, dilarang ikut rapat.

Kami bertiga akhirnya membuat surat pernyataan. Isinya siap datang rapat tepat waktu. Tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Tidak cukup disitu. Kami juga dipanggil ke ruangan satu per satu. 'Diceramahi' habis. Soal manajemen waktu. "Bagaimana mau maju kalau tidak bisa memanej waktu. Wartawan harus disiplin waktu," tegasnya.

Bramono kala itu menjabat Redaktur Pelaksana. Bersama Atal S. Depari, yang kini Ketua Umum PWI Pusat. Pemimpin Redaksi GO diduduki Mahfudin Nigara. Mereka bukan hanya senior saya di Kampus Tercinta 'University of Lenteng Agung'. Pun guru jurnalistik saya.

Mas Bram begitu saya menyapa Bramono tipikal pekerja keras. Tidak kenal lelah. Matanya seperti elang. Sangat detail 'membatik' (koreksi) naskah sebelum naik cetak. Karya jurnalistiknya tidak diragukan.

Dia selalu mengingatkan menulis itu harus lugas, ringkas, dan padat. Mudah dimengerti pembaca. Gunakan bahasa yang gampang dicerna. Jangan ngejelimet. Harus sesuai EYD. Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Mas Bram banyak memberi warna jurnalistik saya. Soal teknik liputan, menulis, mencari angle, penggunaan bahasa dan lainnya.

Mas Bram meninggalkan kami setelah saya ditugaskan meliput Piala Dunia 2006 di Jerman. Saya sempat kecewa. "Kami seperti anak kehilangan induk. Dibiarkan cari makan sendiri," cetus saya ketika menemui Mas Bram di rumahnya di Maharaja, Depok.

"Gw akan balik ke kantor kalau bawa uang sekoper," jawab Bramono keukeh.

Ketika itu Taboid GO memang oleng. Butuh dana segar agar 'kapal' terus berlayar. Tapi, dengan etos kerja tinggi, kami terus mengawalnya hingga berganti baju GoSport.

Saya akhirnya pamit dari Fatmawati 21, Jakarta Selatan - tempat kami bekerja- ke Barito- usai meliput Piala Eropa 2008 di Swiss-Austria. Bukan tidak lagi sehati. Tapi, saya harus mencari sekoci baru. Tantangan baru.

Saya diminta Bramono bergabung di koran Merdeka. Tapi, itu pun hanya hitungan bulan. Bramono kembali meninggalkan saya. "Tenang Sur, lo bertahan aja. Gw lagi siapin 'mainan' baru," imbuhnya.

Ternyata benar. Bramono kembali meminta saya merancang dummy koran kecil. Tempatnya di Juanda, Jakarta Pusat. Saya bersama Rulin Purba dan Lili Permana (almarhum) dipercaya untuk membidani koran ProGol.

Tapi, sejak ProGol gulung tikar tahun 2011, saya tak pernah bertemu Bramono lagi.

Tahun lalu, Bramono terkena stroke. Saya minta maaf lewat Kukuh- putra sulungnya- tak bisa menjenguknya. Kebetulan saya tengah bertugas ke Papua.

Sebelum Ramadhan 2022 kami saling kontak. Bramono sudah berangsur pulih. Terbaca dari irama suaranya. Saya berjanji suatu hari akan menemuinya.

Tapi, belum sempat kami bertemu, kabar duka datang, Sabtu (16/7/2022) pagi hari. Bramono telah 'pergi'. Pergi untuk selamanya. Tidak akan pernah kembali. Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun...

Kontan, saya tersentak. Mulut ini seperti terkunci. Saya bergegas ke rumah duka. Dekat Stadion Merpati, Depok, Jawa Barat. Bersama Ketua PWI Kota Depok Rusdy Nurdiansyah, kami mendoakannya.

Saya menyesal tak menemui sebelum waktunya tiba. Kini, Bramono pergi. Selamanya. Tidak akan kembali lagi.

Tapi, yakinlah, kita masih bisa bertemu lagi. Entah kapan... Hanya Allah yang tahu. Kematian itu rahasia Ilahi. Tak seorang pun tahu. Selamat jalan sang manajemen waktu...* (Yayan)

× Image