Home > Nasional

Momen Idul Adha 1443 H, Ketum ICMI Sampaikan Transformasi Bangsa di Era Disrupsi

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof. Arif Satria menyampaikan pesan perayaan Hari Raya Idul Adha 1443 H, salah satunya tentang era dirupsi
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof. Arif Satria menyampaikan pesan perayaan Hari Raya Idul Adha 1443 H, salah satunya tentang era dirupsi. FOTO: Republika.co.id/ Wlhdan Hidayat/Republika.

ruzka.republika.co.id- Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof. Arif Satria menyampaikan pesan perayaan Hari Raya Idul Adha 1443 H dalam khutbahnya di Masjid Darussalam Kota Wisata pada Ahad, 10 Juli 2022.

Arif Satria menyampaikan Idul adha adalah momentum kebersamaan, dan sekaligus momentum untuk berbagi. Ia juga menyampaikan saat ini orang hidup di era yang penuh dengan perubahan. Perubahan itu keniscayaan karena bisa dikatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.

"Karakteristik perubahan yang dirasakan hari ini berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Perubahan hari ini dicirikan dengan kecepatan yang tinggi, penuh kompleksitas, dan membawa ketidakpastian," ungkap Ketum ICMI dalam khutbahnya melalui keterangan diterima ruzka.republika.co.id, Senin (11/7).

Ia menjelaskan ada tiga sumber yang telah membuat hidup berubah saat ini. Pertama, adalah perubahan ikilm, kedua adalah revolusi industri 4.0 dan ketiga adalah pandemi Covid-19.

"Ketiga sumber tersebut mendatangkan masalah dan tantangan, " tuturnya.

Adanya perubahan di kehidupan sekarang ini sambung Arif Satria, salah satunya pandemi Covid-19 telah membuat semua serba tidak pasti dan varian baru terus bermunculan. Kejadian pandemi ini bukanlah peristiwa biasa karena dampaknya sangat luas secara global dan sistemik. Seluruh sektor kehidupan terkena dampak pandemi ini.

"Bagi orang yang beriman, maka sejumlah masalah dan tantangan tersebut akan dianggap sebagai ujian. Ujian adalah cara Allah agar kita naik kelas. Tidak ada pelaut ulung yang lahir di lautan yang tenang, "

"Ujian adalah cara Allah untuk menempa keimanan dan kehebatan kita. Untuk itulah kita diperintahkan untuk senantiasa belajar dari kisah-kisah Nabi dan masyarakat terdahulu yang diceritakan dalam Al Quran yaitu dalam QS Yusuf ayat 111," ungkapnya.

Arif Satria menambahkan ada dua dimensi ujian, yaitu ujian ketaqwaan dan ujian kehidupan. Keduanya saling berkaitan di kehidupan di dunia ini. "Ujian ketaqwaan hampir dialami semua nabi. Idul Adha adalah sebuah peristiwa besar yang diabadikan dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail AS. Ujian ketaqwaan begitu besar, namun ujian itu bisa dilewati, " tuturnya.

Ujian pertama, adalah ketika Nabi Ibrahim harus berhadapan dengan ayah dan kaumnya yang musyrik, bahkan sampai dihukum dengan dibakar hidup-hidup kisah itu tercantum dalam Surat Al Anbiya ayat 51 hingga 69 . Ujian kedua yaitu ketika Allah memerintah untuk menyembelih putra tercintanya yang sudah lama dinanti, Isma’il.

"Kisah itu terdapat di dalam Surat Ash Shaffat ayat 102 hingga 107," tuturnya.

Sementara itu ujian kehidupan sambung Ketum ICMI yang juga Rektor IPB University tersebut, berkaitan dengan kenikmatan kehidupan. Ada yang diuji dengan nikmat yang minimal dengan kekurangan di berbagai aspek, baik rezeki, kesehatan, tahta, kekuarga, dan kehidupan sosial.

"Inilah yang sering disebut orang awam sebagai ujian. Seolah ujian hanya yang berkaitan dengan penderitaan. Padahal ada juga ujian berupa kelimpahan nikmat hidup sebagaimana dialami Nabi Sulaiman, " ungkapnya.

Kontekstualisasi nilai-nilai Nabi Ibrahim as dan para nabi dalam menghadapi ujian, lanjutnya, bisa menjadi salah satu rujukan penting dalam merespon ujian-ujian yang terus berdatangan sebagai konsekuensi perubahan. Oleh karena itu ada sejumlah nilai yang perlu diperkuat untuk menghadapi ujian.Pertama kata Arif Satria, perlunya sikap positif dalam menghadapi ujian.

"Sesungguhnya setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan. Ini adalah janji Allah dalam QS Al Insyirah ayat 5. yang artinya “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, " tuturnya.

Maka dari itu Arif Satria mengajak semua orang untuk bersikap positif. Kata dia, sikap positif ini hanya bisa dimiliki oleh orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Yakni orang yang meyakini bahwa Allah akan selalu memberikan skenario yang terbaik untuk kita. "Hal ini karena kita yakin bahwa Allah maha mengetahui tentang diri kita dan lingkungan kita baik hari ini maupun masa mendatang, " katanya.

Di dalam surat Al Baqarah ayat 216 "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. Sikap positif ini akan membawa kepada keikhlasan, tawakal, dan optimisme.

"Pandemi Covid-19 juga kita mesti maknai dengan berpikir positif bahwa ini adalah cara Allah untuk menginstall tata kehidupan kita. Dengan adanya Pandemi Covid-19 kita semakin sadar betapa kehidupan kita selama ini telah mengganggu keseimbangan alam, dan kini kita menjadi sadar perlunya cara hidup baru yang ramah lingkungan, "

"Kitapun makin sadar betapa kesehatan adalah nikmat intangible yang sangat penting, yang selama ini kadang kita abaikan. Kita makin sadar betapa hidup bergotong royong dan jiwa kemanusiaan juga sangatlah penting karena krisis tidak bisa dihadapi sendirian, " ungkapnya lagi.

Untuk itu Arif Satria mengajak selalu berprasangka baik kepada Allah swt atas ujian yang diberikan.

Kedua, diperlukan kesabaran proaktif dan bukan hanya kesabaran pasif. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang sabar. Ketiga, sikap kebersamaan menghadapi ujian. Allah memerintahkan untuk saling menasehati tentang kebenaran dan

kesabaran. "Kesabaran begitu ditekankan oleh Allah karena ujian dan cobaan tidak akan pernah berhenti, sebagaimana dialami oleh seluruh Nabi. Begitu pula dalam QS Al-Ma’idah ayat 2 ditegaskan oleh Allah

"Saling Menolonglah kamu dalam melakukan kebajikan dan taqwa. Dan jangan saling menolong pada perbuatan yang dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah SWT. Sebenarnya siksaan Allh SWT sangatlah pedih.”

Ayat ini jelas dia, sekaligus menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Manusia diciptakan untuk saling tergantung. Alam memiliki karakteristik yang bisa menjadi bahan pelajaran bagi konstruksi kebudayaan.

"Alam memiliki sifat beragam, saling tergantung, dan berjejaring. Kita harus belajar dari bagaimana alam bekerja. Karena itu manusia diciptakan dengan keragaman, sehingga interdependensi dan berjejaring adalah kondisi yang perlu kita upayakan,"

"Lebih-lebih hari ini kita makin merasakan sebuah era yang penuh dengan kecepatan, ketidakpastian, dan kompleksitas. Era ini memerlukan skill kolaborasi yang kuat," tuturnya

Selanjutnya, Momen Idul Adha ini kata Arif Satria adalah momentum kebersamaan, dan sekaligus momentum untuk berbagi.

"Hewan qurban yang kita bagikan adalah syariat tentang mekanisme berbagi. Pembagian hewan kurban kepada yang berhak merupakan simbol pentingnya semangat berbagi. Mestinya semangat berbagi tidak hanya saat Idul Adha tetapi juga pada hari-hari yang lain, " pungkasnya. (Supriyadi)

× Image