Belajar dari Dampak Buruk Siklon Tropis, Anak-anak di Yogyakarta Inisiasi Aksi Bersih Sungai dan Pil
ruzka.republika.co.id--Sekitar 40 anak dan orang muda yang tergabung dalam Child Campaigner Yogyakarta Save the Children Indonesia menginisiasi aksi bersih sungai dan pilah sampah di wilayah Sendowo yakni area bagian tengah ungai Code Yogyakarta. Aktivitas ini merupakan bagian dari Aksi Generasi Iklim yang digagas oleh Save the Children Indonesia sejak April 2022. Anak-anak juga menggandeng pihak lainnya seperti Paguyuban Pengajar Pinggir Sungai (P3S) Yogyakarta.
Aksi yang dilakukan pada Ahad, 26 Juni 2022 pagi ini menyoroti tingkat kesadaran masyarakat di wilayah perkotaan Yogyakarta terkait menjaga kebersihan dan memelihara sungai. Aksi ini juga bertujuan untuk meminimalisasi risiko dan dampak buruk yang pernah terjadi pada 2017 silam saat Siklon Tropis Cempaka melanda Yogyakarta terutama wilayah hilir sungai code yakni di Pleret–Imogiri, Kabupaten Bantul.
"Penumpukan sampah limbah rumah tangga maupun limbah industri di sungai dapat memperburuk kondisi iklim yang akan berdampak langsung terhadap anak. Beberapa dampak yang dirasakan oleh anak yaitu gatal-gatal akibat penurunan kualitas air, pencemaran udara, berkurangnya ruang bermain untuk anak, hingga ancaman banjir luapan sungai. Harapannya, setelah diadakan kegiatan ini, anak-anak dapat lebih memahami tentang krisis iklim terutama tindakan preventif yang dapat dilakukan sesuai dengan kapasitas anak,“ ujar Kahfi (17 Tahun), Anggota Child Campaigner Yogyakarta-Save the Children Indonesia.
Krisis iklim yang utamanya berkontribusi pada memanasnya suhu permukaan laut merupakan sumber dari tumbuhnya siklon tropis. Di Indonesia siklon tropis meningkat dari tahun ke tahun, mulai dari siklon tropis cempaka pada 2017 sampai dengan siklon tropis seroja 2021.
Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menjelaskan bahwa pada 2017, untuk kali pertama siklon tropis terjadi dua kali dalam setahun, selain waktu kejadian yang berdekatan, keduanya terbentuk di rentang yang semakin dekat dengan garis khatulistiwa. Dampak yang ditimbulkan dari fenomena siklon tersebut berupa potensi hujan lebat yang mengakibatkan banjir serta longsor.
Data terkini Save the Children melalui hasil studi secara global berjudul “Born into the Climate Crisis” menunjukan bahwa di dunia, anak-anak yang lahir pada tahun 2020 akan menghadapi 30 persen lebih banyak banjir sungai. Di Indonesia, anak-anak akan menghadapi 3,3 kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai, serta merasakan gelombang panas 7,7 kali lebih sering dibanding yang dialami oleh kakek-nenek mereka.
"Hasil studi kami dan juga sejarah dampak dari siklon tropis di Indonesia jelas menjabarkan bahwa anak-anak menanggung beban yang tidak proporsional karena mereka tumbuh dalam situasi yang mengancam. Penting untuk segera melakukan aksi adaptasi dan pengurangan risiko bersama dengan anak-anak untuk meningkatkan kemampuan anak dan keluarga dalam beradaptasi,” jelas Troy Pantouw, Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media Save the Children Indonesia.
Masih melekat dalam ingatan masyarakat terkait dampak kerusakan dan kerugian yang massif dari fenomena siklon tropis cempaka, terutama bagi mereka yang tinggal berdekatan di bagian hilir sungai code yaitu di wilayah sungai opak dan juga di wilayah pertemuan anak sungai lainnya. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul menaksir kerugian materi akibat bencana banjir dan longsor pada 28 November 2017 sekitar Rp. 50 Miliar, setidaknya ada 245 lokasi yang terdampak dan jumlah pengungsi mencapai 7.929 jiwa termasuk anak-anak. Tak hanya genangan air yang mencapai 1,5 meter, tetapi juga area sawah dipenuhi dengan sampah plastik, popok bayi, bahkan kasur kapuk besar.
"Selama 2017 hingga 2022 ini, kejadian bencana terparah diwilayah saya ya bencana banjir karena badai cempaka itu. Bukan hanya banjir genangan air, tapi juga banyak tumpukan sampah dari aliran sungai code,” terang Mustamid, Kepala Dusun Jejeran 1-Pleret Kabupaten Bantul yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Komunitas Sungai Bantul.
Mustamid juga menegaskan bahwa pemeliharan sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) harus dilakukan secara menyeluruh dari hulu, tengah, hingga hilir. Seperti misalnya masyarakat di bagian hulu perlu melakukan upaya-upaya menjaga mata air dengan tidak menebang pohon di bantaran sungai, lalu di bagian tengah perlu melakukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai, tidak membuat bangunan yang mengganggu aliran air sungai dan untuk masyarakat di hilir, perlu lebih banyak menanam pohon di dekat sungai serta secara regular membersihkan sungai. (Rusdy Nurdiansyah)