Home > Komunitas

Memori Billy Moon dan Bali

Billy Moon dan Bali dua tempat berbeda. Tapi, menyimpan kenangan yang sama. Banyak memori yang tak terlupakan.
Tak ada yang berubah dari Billy Moon.

ruzka.republika.co.id - Saya tiga kali ke Billy Moon. Dua kali pada tahun 1985. Kapan waktunya, saya lupa. Persisnya ketika kelas satu SMA. Sudah puluhan tahun yang lalu.

Kali ketiga pada Sabtu lalu. Ini yang pertama bertemu teman lama. Teman sekelas 1-7 SMAN 30 Jakarta. Segalanya tentu telah berubah. Seiring bertambahnya usia.

Mungkin saya tergolong 'si anak hilang'. Baru sebulan ini bergabung di grup whatsapp GRAST 30. GeRakan Anak Satu Tujuh. Itu pun tidak sengaja ketika saya memanjat facebook (FB).

Saya biasanya mengintip FB untuk share berita. Berbagi informasi. Sesuai kapasitas saya sebagai jurnalis. Tapi, malam itu pikiran saya menerawang jauh. Nama ini sontak muncul di kepala: Mutia Susanti.

Wanita ini idola saya ketika SMA. Tapi, saya tak berani mendekatinya. Hanya memandangnya dari kejauhan. Itu dulu. Malu-malu kucing.

Kini saya dan Mutia tak lagi berjarak. Kita bercanda dan tertawa sepanjang jalan munuju Billy Moon. Pun kala mengulik cerita masa remaja.

Billy Moon adalah sebuah komplek perumahan di Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Termasuk perumahan elite. Rumahnya besar-besar. Cukup asri. Banyak sarana olahraga di sana.

"Ayo kalau mau ngumpul di rumah. Alhamdulillah. Gak usa bawa apa-apa. Insya Allah nanti gw siapin yang bisa gw bikin saja yah," kata Corry Huntangadi di grup GRAST 30.

Awalnya saya janjian dengan Kasih Pudjiantoro. Di sebuah kafe di Cibubur. Namun batal. Kemudian geser ke arah Sentul. Juga kembali gagal. Teman-teman akhirnya sepakat temu kangen di rumah Corry.

Tentu kami tak ingin merepotkan tuan rumah. Tapi, Corry justru senang disambangi teman-teman. "Rumah Corry banyak kenangan buat kita. Sejak SMA hingga hari ini," ujar Novie Anawaty.

"Ayo bantuin cari teman-teman GRAST ajak join kesini," Novie yang cukup 'bawel' di kelas menambahkan.

Berbagai hidangan tersaji di meja makan. Soto betawi yang dibawa Yadi jadi santapan makan siang. Sebelumnya kami mencicipi makanan ringan. Ada bakwan, bihun goreng, risol, tahu, asinan dan lainnya. Semua berkah.

"Pengen datang, kangen. Tapi, maaf gak bisa ikutan. Semoga lain kali bisa ikutan kumpul-kumpul," tulis Devi Perwita di grup GRAST 30 dengan emoji peluk.

Kue Jongkong sebagai menu penutup laris manis. Widhi bawa 100 gelas kecil. Ludes semua. Tak ada yang tersisa.

Jongkong salah satu jajanan khas Bangka Belitung. Memiliki rasa yang manis dan tekstur yang lembut. Jajanan ini sering dijual di pasar tradisional. Sekali nyentuh, membuat lidah ketagihan.

Kopi Vietnam racikan saya tak kalah menggoda. Jadi teman setia di beranda. Sambil cerita melepas tawa. Setiawan dan Mohamad Iwan berbagi cerita menggelitik. Semua happy.

Kenangan tak terlupakan.

Pertemuan itu bukan sekadar melepas rindu. Tidak juga mengulik masa lalu. Kami juga berencana membuat GRAST 30 Peduli. Sebuah wadah untuk membantu sesama.

Haji Yadi mengusulkan pembuatan buku. Isinya seperti profil anggota Grast 30. Mungkin bisa menginspirasi anak cucu kami kelak. Vivi berbagi kisah perjalanannya. Wanita cantik berdarah arab ini pernah jadi sekretaris sebuah perusahaan. Kini beralih jadi guru mengaji. Dia menyebutnya pengajar Alif Ba Ta...

Yadi yang dulu doyan petualang, kini menjadi pengusaha. Sesuai cita-citanya. Dia juga berkecimpung di dunia politik.

Contoh lain yang menginspirasi adalah Mohamad Iwan. Maaf, saat sekolah 'angin-anginan', telah berubah 180 derajat. Menjauh dari kenakalan remaja yang pernah dilakoni. Anak Betawi ini sekarang taat beribadah. Dan dipanggil Ustazd, meski dia agak risih dengan panggilan itu.

"Jujur kelas kita paling ditakuti. Grast sangat kompak luar dalam. Banyak kenangan yang tak bisa diungkapkan. Semoga pertemuan ini membuat kita makin solid," ungkap Rai Renaildi, ketua kelas Grast 30.

"Saking kompaknya, kalau upacara selalu menghindar. Ketua kelas ditinggal sendiri. Berlomba manjat pagar lewat kantin. Yang apes, disuruh push-up," kenang Kasih Pudjiantoro.

Kemudian muncul wacana tapak tilas ke Bali. Seperti masa sekolah dulu. Kami 10 orang ke sana. Ke rumah Rai selama seminggu. Segurat cerita indah terpatri. Tak terlupakan.

Kala itu, berbagai tempat wisata kami kunjungi. Kecuali Terunyan. Sebuah desa di Kintamani, Kabupaten Bangli. Kami hanya menyentuh di seberang Danau Batur. Maklum, saat itu masih SMA, dana kami terbatas.

"Kalau teman-teman setuju, bulan Oktober kita sama-sama ke Bali lagi. Tapak tilas ke rumah Rai," imbuh Haji Yadi.

Rai tidak bisa menolak. Meskipun bekerja di Papua, dia janji akan menjamu Grast 30 di rumahnya. Persis pada hari lahirnya, pertengahan Oktober.

"Atur aja waktunya. Kalau bisa antara 20-23 Oktober," Rai menyarankan.

Haji Yadi mengusulkan naik mobil. Bisa 2-3 mobil. Setir sendiri. Supaya ada kebersamaan. Tapi, ada juga yang ingin naik pesawat. Tidak masalah juga. Terpenting momen tapak tilas.

Billy Moon dan Bali dua tempat berbeda. Tapi, menyimpan kenangan yang sama. Banyak memori yang tak terlupakan. * (Suryansyah)

× Image