Home > Nasional

Fahira Idris: Kasus Dugaan Pemerkosaan oleh Dokter PPDS Merupakan Kejahatan Luar Biasa

Fakta bahwa telah muncul korban lebih dari satu menunjukkan bahwa ada indikasi kuat pelaku adalah seorang predator seksual, yang dengan sadar, berulang, dan sistematis memanfaatkan jabatannya untuk melancarkan aksinya.
Polda Jawa Barat merilis tersangka PAP dokter residen PPDS yang memerkosa keluarga pasien di lantai 7 RSHS Bandung, Rabu (09/04/2025). (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Polda Jawa Barat merilis tersangka PAP dokter residen PPDS yang memerkosa keluarga pasien di lantai 7 RSHS Bandung, Rabu (09/04/2025). (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA—REPUBLIKA NETWORK — Anggota DPD RI yang juga aktivis perempuan Fahira Idris mengutuk keras kasus pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran terhadap anak dari pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

“Tindak kekerasan seksual ini bukan hanya mencederai korban secara fisik dan psikis, tetapi juga menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan dan menodai tempat yang seharusnya menjadi ruang penyembuhan. Saya kehilangan kata-kata, bagaimana bisa, seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dan penyelamat nyawa, namun justru menjadikan posisi dan aksesnya sebagai alat untuk melakukan kejahatan. Dugaan pemerkosaan oleh Dokter PPDS ini adalah kejahatan luar biasa,” ujar Fahira Idris di Jakarta (14/04/2025).

Senator Jakarta ini meminta penanganan kasus ini harus dilakukan secara komprehensif. Dirinya mengapresiasi kepolisian yang terus mendalami secara menyeluruh kemungkinan adanya lebih dari satu korban.

Fakta bahwa telah muncul korban lebih dari satu menunjukkan bahwa ada indikasi kuat pelaku adalah seorang predator seksual, yang dengan sadar, berulang, dan sistematis memanfaatkan jabatannya untuk melancarkan aksinya.

Untuk itu, jika terbukti, tersangka harus dijerat dengan pasal berlapis, sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan undang-undang lain yang relevan. Apabila terbukti bahwa korban lebih dari satu dan dilakukan secara berulang, maka pelaku bisa dijerat dengan Pasal 64 KUHP tentang perbuatan pidana berulang dan diberi hukuman paling berat, serta tidak boleh ada celah hukum yang menguntungkan pelaku.

Fahira juga menegaskan segala bentuk pendekatan restorative justice (RJ) untuk kasus kejahatan luar biasa ini tidak relevan. Tidak ada ruang untuk damai atau maaf dalam kejahatan seksual apalagi yang menjadi korban sangat rentan seperti anak pasien.

Keadilan bagi korban, menurut Fahira Idris harus ditegakkan di pengadilan, bukan di ruang mediasi. Jika pendekatan RJ digunakan dalam kasus ini, maka akan menjadi preseden buruk dan melecehkan rasa keadilan publik.

“Kita harus bersama-sama mengawal proses hukum kasus ini sampai tuntas, memastikan pelaku menerima hukuman maksimal, dan mendesak reformasi dalam sistem pendidikan dan rekrutmen profesi medis agar kasus seperti ini tidak pernah terulang lagi,” pungkas Fahira Idris. (***)

× Image