Home > Kolom

Catatan Cak AT: Rahayu Danantara

Program yang mesti dipertahankan ini setidaknya memberi harapan bagi anak-anak sekolah agar tetap fokus belajar tanpa perut keroncongan.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Rahayu, Danantara. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Rahayu, Danantara. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Optimisme Presiden Prabowo Subianto menggelegar. Hari ini, 24 Februari 2025, ia resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) — sebuah lembaga yang digadang-gadang sebagai kunci kemandirian ekonomi Indonesia.

Prabowo berkali-kali menyebutnya sebagai langkah strategis untuk mengelola investasi dan mengurangi ketergantungan pada asing. Dan, ada satu kepastian yang menarik: modal awal Danantara berasal dari pemotongan anggaran sebesar Rp306 triliun.

Ya, modal Danantara bukan dari tambang emas yang tiba-tiba ditemukan atau harta karun VOC yang mendadak muncul dari dasar laut, melainkan dari efisiensi alias pangkas sana-sini. Pemotongan anggaran inilah yang selama ini didemo ribuan mahasiswa.

Dari seluruh dana hasil pemangkasan anggaran, sebanyak Rp24 triliun telah dialokasikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Program yang mesti dipertahankan ini setidaknya memberi harapan bagi anak-anak sekolah agar tetap fokus belajar tanpa perut keroncongan.

Sementara itu, Rp282 triliun sisanya menjadi modal bagi Danantara untuk berinvestasi di sektor strategis. Dana ini sekitar 7,8% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, yang ditetapkan sebesar Rp3.621,3 triliun.

Sebagai perbandingan, alokasi untuk subsidi dan kompensasi dalam APBN 2025 mencapai Rp 525 triliun, atau sekitar 14,5% dari total anggaran. Ini tak dipangkas. Investasi pada Danantara mencerminkan prioritas pemerintah dalam pengelolaan investasi negara.

Namun, ada efek samping yang tak bisa diabaikan. Salah satu yang paling merasakan dampaknya —dan paling nyaring bersuara— adalah sektor pendidikan. Kampus-kampus negeri yang selama ini sudah pas-pasan anggarannya kini harus lebih kreatif bertahan hidup.

Dan mahasiswa? Mereka pun turun ke jalan dalam aksi "Indonesia Gelap." Berbagai komponen gerakan aksi juga bergabung, memprotes banyak isu dan persoalan, antara lain pemangkasan anggaran yang dianggap sebagai strategi "cetak investor, bukan cendekiawan."

Dalam bayangan ideal, pemangkasan ini mungkin terdengar seperti kebijakan brilian. Tetapi di dunia nyata, mahasiswa masih harus menghadapi dosen yang memakai slide presentasi tahun 2005 dan bangunan kampus yang dikhawatirkan akan semakin kusam.

Sebagai lembaga investasi negara, Danantara diharapkan mampu menghasilkan keuntungan jangka panjang. Namun, skeptisisme mencuat —sebab sejarah panjang pengelolaan dana jumbo di Indonesia lebih sering berakhir dengan skandal ketimbang sukses.

Apalagi, penunjukan Muliaman Hadad sebagai Kepala Danantara menimbulkan perdebatan. Apakah ini benar-benar keputusan berbasis kompetensi, atau hanya rotasi elite lama dengan bumbu reformasi? Apakah dia memiliki integritas untuk mengelola dana sebesar itu?

Masyarakat tentu berharap Danantara tidak berubah menjadi Danantah —alias dana yang entah ke mana perginya. Mereka ingin ini benar-benar langkah nyata menuju kemandirian ekonomi, mengurangi ketergantungan pada asing, dan memperkuat investasi domestik.

Namun, dengan kelas menengah yang makin menyusut dan sektor riil yang kembang-kempis, tidak semua orang yakin investasi ini akan memberi efek nyata dalam waktu dekat. Ada dua faktor utama yang menjadi alasan skeptisisme ini.

Pertama, kelas menengah yang makin menyusut. Kelas menengah merupakan penggerak utama ekonomi karena mereka memiliki daya beli yang cukup kuat. Tanpa mereka, pertumbuhan ekonomi berbasis investasi bisa kehilangan dampak yang signifikan.

Kedua, sektor riil yang kembang-kempis. Sektor ini mencakup industri manufaktur, perdagangan, UMKM, dan bisnis yang langsung melibatkan barang dan jasa nyata. Jika sektor ini lesu, maka investasi besar seperti Danantara bisa kehilangan efek domino yang diharapkan.

Investasi besar sering kali membutuhkan waktu untuk membuahkan hasil. Jika sektor riil tidak cukup kuat untuk menopang investasi tersebut, dampaknya ke ekonomi nasional bisa lebih lambat atau bahkan tidak sesuai harapan.

Namun, tentu ada banyak sektor investasi yang hasilnya bisa mulai terasa dalam waktu enam bulan hingga tiga tahun. Setidaknya, hasil dan dampaknya dapat segera dirasakan secara langsung oleh rakyat, seperti mengurangi impor bahan pangan, industri, dan energi.

Impor pakan ternak, misalnya, jumlahnya sangat besar. Jika investasi Danantara diarahkan pada pabrik pakan berbasis sumber daya lokal seperti tepung ikan, ampas tahu, dan jagung lokal, biaya produksi daging dan ayam bisa lebih murah dalam waktu singkat.

Pemerintah berencana menghentikan impor jagung untuk pakan ternak mulai 2025. Produksi nasional ditargetkan mencapai 16,7 juta ton, untuk memenuhi kebutuhan nasional yang sebesar 13 juta ton. Ini jelas mendukung kesejahteraan petani lokal dan mencapai swasembada pangan.

Jadi, apakah Danantara suatu langkah visioner atau sekadar skema baru yang akan berakhir dengan cerita lama? Sejarah yang akan menjawab.

Kita tetap berharap agar Danantara bukan sekadar episode lain dari serial Indonesia Maju, Tapi yang Kaya Tetap Itu-Itu Saja. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 24/2/2025

× Image