Catatan Cak AT: Bicara Tanpa Menusuk
![Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Bicara Tanpa Menusuk. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/news/250214091218-406.jpg)
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kita semua pasti pernah mengalami situasi ketika kata-kata terasa lebih tajam dari pedang. Pedang, paling tidak, kalau sudah menusuk akan segera terasa sakitnya.
Tapi kata-kata? Kadang menyelinap diam-diam ke dalam hati, lalu mengendap bertahun-tahun, menyiksa tanpa terlihat.
Inilah mengapa Nonviolent Communication (NVC), atau komunikasi tanpa kekerasan, menjadi sesuatu yang begitu penting —dan betapa sayangnya, sering diabaikan.
Saya sudah mencoba memperkenalkan dan mempraktekkan model komunikasi ini di lingkungan pesantren. Hasilnya? Lingkungan sosialnya jadi harmonis dan bebas perundungan.
Berangkat dari teori Marshall Rosenberg tentang NVC, ada empat proses dalam komunikasi tanpa kekerasan: pengamatan faktual, perasaan, kebutuhan, dan permintaan.
Berbicaralah berdasarkan pengamatan faktual, bukan penghakiman; libatkan perasaan alias bersimpati; ungkapkan kebutuhan; dan terakhir ajukan permintaan sebagai solusi.
Namun, dalam tradisi Islam, komunikasi ternyata bukan sekadar masalah teknik atau metode seperti di NVC, melainkan juga perkara moral dan spiritual.
Maka, mari kita lihat bagaimana konsep komunikasi tanpa kekerasan ini sejalan dengan ajaran al-Qur’an, khususnya tentang jenis-jenis
"qawl" (perkataan) yang dimuatnya.
Pertama, Qawlan Sadidan (قَوْلًا سَدِيدًا): Berkatalah yang Tegas dan Jujur. Firman Allah Swt dalam al-Qur'an, yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar (sadid)." (Qs. Al-Ahzab [33]: 70)
Dalam NVC, tahap pertama adalah pengamatan —melihat fakta dan menyampaikan perkataan berbasis fakta tanpa interpretasi emosional. Nah, di sinilah qawlan sadidan berperan.
Artinya, kita harus berbicara tegas, jujur, mengemukakan fakta hasil pengamatan, yang tidak menyakiti. Namun, di sini kita sering tergelincir.
Contoh perkataan buruk yang menyakitkan: "Aduh, bajumu hari ini seperti gorden nenekku!" Padahal, kalau mengikuti _qawlan sadidan_, kita cukup berkata: "Warna bajumu batik Cirebonan, ada cerita di balik pemilihannya?" Tegas? Iya. Jujur? Tentu. Tapi tidak menusuk seperti belati.
Kedua, Qawlan Kariman (قَوْلًا كَرِيمًا): Berkata dengan Penuh Kemuliaan. Allah Swt berfirman, yang artinya: "Dan janganlah engkau mengatakan kepada kedua orang tuamu perkataan 'ah', dan jangan membentak mereka, tetapi ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (karim)." (Qs. Al-Isra’ [17]: 23)
Tahap kedua dalam NVC adalah perasaan —mengungkapkan apa yang dirasakan dengan cara yang baik, alias memberi simpati kepada lawan bicara, apa pun kondisinya. Sayangnya, sering kali kita berkata terlalu jujur tanpa memikirkan apakah kata-kata kita menghormati orang lain.
Contoh buruk: "Pak, ibu cara berpikir kalian itu jadul banget." Padahal, jika mengikuti qawlan kariman_, kita akan berkata penuh simpati: "Pak, Bu, saya menghargai pengalaman hidup kalian. Tapi saya merasa lebih nyaman dengan cara ini. Bagaimana menurut kalian?" Sama-sama jujur, tapi yang satu berbunyi seperti gugatan, yang satu lagi terdengar seperti undangan untuk berdiskusi.
Ketiga, Qawlan Ma’rufan (قَوْلًا مَّعْرُوفًا): Berkata yang Baik dan Pantas. Ini disebutkan dalam al-Qur'an, yang artinya: "Dan mereka yang (memelihara hartanya) tidak mengharapkan balasan atau terima kasih, tetapi (memberikan bantuan) karena mencari wajah Tuhan yang Maha Tinggi. Maka kelak mereka akan mendapat keridaan (Allah). Dan lidah mereka mengucapkan perkataan yang baik (ma'ruf)." (Qs. Al-Baqarah [2]: 263)
Dalam NVC, tahap ketiga adalah mengidentifikasi kebutuhan —memahami kebutuhan kita dan orang lain sebelum berbicara. Ini selaras dengan makna qawlan ma’rufan, yaitu berkata dengan baik dan pantas, bukan sekadar asal bicara.
Contoh perkataan buruk: "Duh, anak-anak zaman sekarang nggak ada sopan-sopannya!" Lebih baik katakan dengan qawlan ma’rufan, seperti: "Saya merasa lingkungan yang penuh rasa hormat itu penting. Bagaimana kita bisa membangun kebiasaan yang lebih sopan?"_Alih-alih menyalahkan, kita mengajak mencari solusi.
Keempat, Qawlan Layyinan (قَوْلًا لَيِّنًا): Berkata dengan Lembut. Disebut dalam al-Qur'an, yang artinya: "Maka berbicaralah kepadanya (Firaun) dengan perkataan yang lemah lembut (layyin), mudah-mudahan dia ingat atau takut." (Qs. Thaha [20]: 44)
Tahap terakhir NVC adalah permintaan, bukan tuntutan. Qawlan layyinan mengajarkan kita berbicara dengan kelembutan, bahkan kepada seorang Firaun sekalipun. Tapi lihatlah cara kita berbicara di media sosial —bukan hanya jauh dari layyin, tapi sering lebih ganas dari pasukan Perang Badar!
Contoh buruk: "Bodoh banget sih, masa gitu aja nggak ngerti?" Mari coba dengan qawlan layyinan, seperti: "Aku merasa ini konsep yang agak rumit. Boleh aku jelaskan dengan cara yang lebih sederhana?" Dampaknya jauh lebih baik, bukan?
Menerapkan Nonviolent Communication dan prinsip qawl dalam Islam bukan berarti menjadi orang yang selalu "yes-man" atau menahan diri dari berkata jujur. Sebaliknya, inilah seni berbicara dengan penuh kesadaran, keseimbangan, dan kebaikan. Jika lidah bisa menjadi pedang, maka dengan komunikasi yang benar, lidah juga bisa menjadi obat.
Maka, sebelum berbicara, tanyakanlah pada diri sendiri: Apakah kata-kata saya ini sadid? (Jujur dan tegas); Apakah ini karim?.(Mulianya terjaga); Apakah ini ma’ruf? (Sesuai dengan kebaikan dan pantas); Dan apakah ini layyin? (Disampaikan dengan kelembutan).
Kalau jawabannya "tidak" untuk salah satunya, mungkin lebih baik diam. Seperti kata pepatah Arab: "Jika perkataanmu bukan emas, lebih baik diam dan jadilah perak."
Atau dalam versi modernnya: Kalau tak bisa berkata baik, setidaknya jadilah seperti sinyal WiFi —diam tapi tetap memberi manfaat! (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 14/2/2025