Home > Nasional

Menelisik 100 Hari Kinerja Kabinet Prabowo-Gibran

Persoalan adab menjadi urgent karena Satryo sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Tekonologi, yang seharusnya menjaganya dalam bersikap dan bertindak.
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK - Kinerja 100 hari Kabinet Prabowo-Gibran secara umum memang menunjukkan kontradiksi. Setidaknya bila hal itu mengacu pada hasil survei Litbang Kompas dan Center of Economic and Law Studies (Celios).

Survei Litbang Kompas menemukan mayoritas (80,9%) responden mengaku puas terhadap kinerja kabinet Prabowo-Gibran. Sementara hasil survei Celios justru menunjukkan sebaliknya.

Kontradiksi hasil survei tersebut mendapat sorotan Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga, Senin (27/01/2025) pagi.

"Jadi, perbedaan dua hasil survei itu wajar, karena memang berbeda metode dan sampel yang diteliti. Karena itu, dua survei itu pada dasarnya saling mengisi," ungkap Jamil.

Artinya, kepuasan masyarakat terhadap kinerja kabinet Prabowo-Gibran memang ada. Penilaian itu cenderung tertuju pada program-program populis yang memang banyak dirilis pada 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran.

Sementara survei Celios lebih komprehensif dengan membedah program keseluruhan kementerian pada 100 hari pertama. Karena itu, wajar kalau ditemukan ketidakpuasan responden terhadap kinerja kabinet Prabowo-GIbran.

"Hasil dua survei di permukaan tampak bertentangan, namun sesungguhnya saling mengisi. Untuk program populis, masyarakat memang puas karena program ini memang dapat segera diwujudkan. Hal itu segera dapat dirasakan masyarakat dan berpengaruh terhadap penilaian baik terhadap kinerja Prabowo-Gibran," papar pengamat yang juga mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta ini.

Namun untuk program nonpopulis, tentu pencapaiannya perlu proses waktu dan sulit dicapai 100 hari kerja. Karena itu, peluang mendapat penilaian buruk sangat terbuka.

Hal itu kiranya juga terjadi di bidang pendidikan dan pertahanan. "Di bidang pendidikan, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, kinerja menterinya mendapat penilaian terbaik. Hal itu terjadi karena salah satu Program 100 hari Prabowo-Gibran berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan guru. Program ini mendapat penilaian baik oleh masyarakat, khususnya para guru baik guru negeri maupun guru swasta," jelasnya.

Namun demikian, penilaian masyarakat berbeda terhadap Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro. Menteri satu ini dinilai negatif setelah didemo pegawainya.

"Hanya saja penilaian negatif terhadap Satryo bukan terkait kinerjanya sebagai menteri. Penilaian itu terkait adab seorang menteri terhadap pegawainya," lanjut Jamil.

Persoalan adab menjadi urgent karena Satryo sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Tekonologi, yang seharusnya menjaganya dalam bersikap dan bertindak. Satryo seharusnya terdepan menjadi teladan dalam menjaga adab.

"Kalau Satryo tak bisa menjaga adab, maka ia akan menjadi menteri kontroversial. Hal ini akan bisa menjadi beban bagi Presiden Prabowo," imbuh Jamil.

Bidang pendidikan, seharusnya fokus pada peningkatan kualitas pendidikan. Hal itu dimungkinkan karena anggaran di bidang pendidikan pada 2025 sebesar Rp 724,3 triliun.

Anggaran sebesar itu cukup untuk meningkatkan kualitas guru/dosen, mempertajam kurikulum, meningkatkan prasarana dan prasarana pendidikan (gedung belajar/kuliah, laboratorium, dan perpustakaan), dan update sistem pendidikan.

Untuk itu, bidang pendidikan dapat mengalokasikan anggaran berdasarkan skala prioritas. Anggaran tersebut tidak sekedar untuk pemerataan pendidikan, tapi sudah pada peningkatan kualitas pendidikan untuk mencapai generasi emas tahun 2045.

Berbeda halnya di bidang pertahanan, tidak ada program populis yang masuk pada 100 hari. Hal ini terjadi bisa saja karena tidak ada program di bidang pertahanan yang dapat diwujudkan dalam waktu 100 hari.

Hal itu kiranya menjadi penyebab pimpinan tertinggi di bidang pertahanan tidak mendapat penilaian terbaik kinerjanya dalam 100 hari kerjanya.

"Selain itu, anggaran di bidang pertahanan juga relatif kecil. Anggaran tahun 2025 hanya Rp 165,16 triliun. Padahal bidang pertahanan membutuhkan anggaran Rp 353,52 trilun. Jadi anggaran bidang pertahanan tidak sampai 50 persen dari yang dibutuhkan pada tahun 2025," tandas Jamil.

Padahal bidang pertahanan memerlukan anggaran yang besar untuk pengadaan alutsista, pemeliharaan alutsista, pembangunan rumah dinas prajurit, dan pembangunan sarana prasarana pertahanan. Bahkan yang lebih penting peningkatan gaji prajurit yang masih memprihatinkan.

"Jadi, kalau bidang pertahanan ingin dapat dibanggakan, maka setidaknya kesejahteraan prajurit dapat ditingkatkan. Hal ini akan dapat meningkatkan moral prajurit sehingga dapat menutupi kekurangcanggihan alutsista yang dimiliki," ungkapnya.

Selain itu, TNI harus terdepan dalam menjaga demokrasi di tanah air. Untuk itu, TNI idealnya tidak menyentuh kehidupan sipil, sebagaimana ditanamkan sebagai prajurit profesional.

"Karena itu, sudah seharusnya TNI menolak untuk mengisi pos-pos yang berkaitan dengan tugas dan fungsi (tupoksi) sipil. Dengan begitu TNI sudah menjaga dan tidak masuk ke ranah sipil," pungkas Jamil. (***)

× Image