Home > Kolom

Catatan Cak AT: Hisab Kapitalisme

Bayangkan al-Khawarazmi, dengan pakaian khas Baghdad abad ke-9, duduk di sebuah kantor Meta, menyaksikan algoritma "ciptaannya" beraksi.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Hisab Kapitalisme. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Hisab Kapitalisme. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Seandainya al-Khawarazmi, bapak algoritma yang hidup di abad ke-9, bisa melintasi waktu dan menyaksikan bagaimana penemuannya digunakan untuk menopang kapitalisme demokrasi di abad ke-21, ia mungkin akan terkejut. Atau lebih tepatnya, terperangah —sambil mengelus janggutnya dengan rasa bingung.

Bagaimana tidak? Pria yang mengabdikan hidupnya pada ilmu pengetahuan, logika, dan keadilan matematis mungkin tidak pernah membayangkan bahwa algoritma yang ia kembangkan untuk memecahkan masalah aritmetika akan digunakan untuk menentukan iklan mana yang harus muncul di Facebook Anda atau kandidat mana yang seharusnya lebih sering Anda lihat di media sosial.

Bayangkan al-Khawarazmi, dengan pakaian khas Baghdad abad ke-9, duduk di sebuah kantor Meta, menyaksikan algoritma "ciptaannya" beraksi.

Ia mungkin akan bertanya dengan nada kritis, “Tunggu, tunggu, ini bukan yang aku maksud ketika aku menulis Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wal-Muqabalah!

Algoritma ini dirancang untuk memecahkan masalah dunia nyata, bukan untuk menjejali orang dengan iklan sepatu yang sama berulang kali setelah mereka hanya melirik satu sepatu online!”

Bagi al-Khawarazmi, matematika adalah alat untuk mencapai harmoni dan keadilan, bukan sarana untuk mengeksploitasi kelemahan psikologis manusia demi keuntungan finansial.

Dalam perspektifnya, logika algoritmik adalah sesuatu yang murni, sebuah upaya untuk membantu manusia memahami dunia dan memecahkan masalah secara efisien.

Tapi di dunia modern, algoritmanya justru menjadi mesin pendorong kapitalisme yang menciptakan realitas virtual di mana kebenaran adalah apa yang paling menguntungkan.

Ia mungkin juga heran melihat bagaimana algoritma kini menentukan siapa yang layak mendengar berita, siapa yang menjadi sasaran kampanye politik, atau bahkan siapa yang diizinkan mendapatkan pinjaman bank. Baginya, semua ini mungkin terasa seperti pelanggaran terhadap prinsip etika keilmuan yang ia pegang teguh.

Melihat algoritmanya digunakan untuk memengaruhi hasil pemilu atau mendorong polarisasi politik, al-Khawarazmi mungkin akan bertanya-tanya: "Ini demokrasi atau komedi?

Jika algoritma menciptakan gelembung informasi, bagaimana orang bisa membuat keputusan yang rasional?"

Ia mungkin akan merasa bahwa algoritma, alih-alih menjadi alat pencerahan, telah menjadi instrumen kegelapan yang membatasi pandangan manusia.

Namun, al-Khawarazmi adalah seorang cendekiawan. Setelah rasa terkejutnya mereda, ia mungkin akan mencoba memahami bagaimana dunia modern bekerja.

Ia bisa jadi menyimpulkan bahwa meskipun algoritma telah disalahgunakan, masalah sebenarnya terletak pada orang-orang yang mengendalikannya. "Algoritma hanyalah alat," mungkin ia akan berkata. "Namun alat yang kuat di tangan yang salah bisa menjadi senjata penghancur."

Walhasil, al-Khawarazmi mungkin akan menyampaikan sebuah nasihat yang relevan untuk zaman kita: "Matematika tidak memihak, tetapi manusia selalu memiliki bias. Jangan salahkan angka ketika keserakahan merusak keadilan."

Sambil menggelengkan kepala, ia mungkin akan kembali ke Baghdad dan menulis sebuah buku baru: "Hisab Kapitalisme wa Demokrasi"—sebuah peringatan bagi generasi masa depan tentang bahaya menyalahgunakan ilmu pengetahuan untuk tujuan yang egois.

Dan, setelah semua itu, ia mungkin akan menyeru, "Sesungguhnya, aku tidak menciptakan algoritma untuk yang ini!" Sambil melangkah keluar dari kantor Meta, ia mungkin akan menggumam, "Jika aku tahu algoritma ini akan berakhir di sini, aku mungkin akan berhenti di angka nol saja." (***)

Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 26/1/2025

× Image