Catatan Cak AT: Otak Dibalik Threshold 20 Persen
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Aroma demokrasi tiba-tiba terasa seperti wangi kopi instan —praktis tapi penuh kejutan. Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah sejarah dengan mengabulkan gugatan penghapusan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ini sekaligus kado tahun baru 2025 bagi bangsa Indonesia.
Padahal sebelumnya, mereka menolak gugatan serupa sebanyak 33 kali! Sekarang ini, alasan yang disampaikan cukup sederhana tapi heroik: demi menghindari kemunduran demokrasi akibat dominasi partai politik besar yang membatasi peluang warga negara untuk maju sebagai calon presiden.
Publik pun memberikan tepuk tangan meriah, kembang api dinyalakan. Tapi diam-diam muncul pertanyaan: siapa sebenarnya otak di balik perubahan sikap ini? Pertanyaan ini sepertinya tak penting —bukankah ketentuan threshold itu sudah dihapus? Namun, dari jawaban atas pertanyaan ini, semoga kita bisa memahami arah politik ke depan.
Keputusan ini tentu tak lepas dari peran hakim MK. Ketua MK saat ini adalah Suhartoyo, didampingi oleh delapan hakim lainnya Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Usman Anwar, Daniel Yusmic, Arief Hidayat, Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Asrul Sani.
Dengan kapasitas intelektual dan otoritas mereka, para hakim inilah otak hukum di balik putusan monumental tersebut.
Namun, kita tahu, hukum tidak pernah benar-benar steril dari politik. Ada tangan-tangan tak terlihat yang memengaruhi keputusan besar seperti ini. Dan di sinilah percaturan politik mulai terbuka.
Jika ada tokoh yang paling berharap dengan penghapusan presidential threshold (PT) 20%, jawabannya adalah Prabowo Subianto.
Selama tiga kali mencalonkan diri sebagai presiden, ia merasakan betapa sulitnya mengumpulkan 20% suara partai di DPR, yang membutuhkan koalisi besar dan dana kampanye yang tidak sedikit.
Kini, ketika Prabowo akhirnya berkuasa, apakah putusan MK ini hanya kebetulan? Atau ada hubungan tak kasat mata antara posisi politiknya dan putusan MK?
Prabowo tentu tak akan secara langsung mengakui dirinya sebagai pendorong perubahan ini. Tetapi para hakim MK mungkin saja memahami "kode" dari arah politik Istana.
Dari perspektif pragmatisme kekuasaan, hakim MK mungkin merasa perlu menjaga harmoni dengan penguasa. Keputusan yang selaras dengan kepentingan presiden saat ini dapat dianggap sebagai cara untuk mempertahankan stabilitas institusional—dan mungkin juga posisi mereka sendiri.
Teori ini menjelaskan bagaimana hukum bisa dipengaruhi oleh realitas politik, meskipun secara formal mereka seharusnya netral.
Mari kita juga tengok sejarah. Aturan presidential threshold pada mulanya lahir dari kekhawatiran partai-partai besar terhadap hasil Pemilu 2004.
Saat itu, lima pasangan calon presiden bersaing, dan yang keluar sebagai pemenang justru Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berasal dari Partai Demokrat, sebuah partai baru.
Kekalahan partai-partai besar seperti PDIP dan Golkar dari partai baru memunculkan trauma politik yang mendasari ide pembatasan pencalonan presiden. Mereka pun kemudian mendorong perubahan undang-undang pemilu melalui pembahasan yang panjang di DPR.
Ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hendak disahkan, fraksi-fraksi di DPR terpecah menjadi dua kubu. Partai Gerindra, Demokrat, PAN, dan Hanura menolak PT 20%.
Di sisi lain, PDIP, Golkar, Nasdem, PKS, PPP, dan PKB mendukung. PDIP berargumen bahwa threshold diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Namun, banyak yang menganggap aturan ini justru mempersempit demokrasi.
Kini, keputusan MK menghapus PT 20% dianggap sebagai kemenangan demokrasi. Namun, pertanyaannya: apakah ini benar-benar demi rakyat, atau demi kelancaran agenda politik tertentu? Kita menunggu pembahasan selanjutnya di DPR.
Yang pasti, penghapusan ambang batas ini menunjukkan bahwa hukum dan politik adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Dan kita, rakyat biasa, hanya bisa menonton, sambil sesekali tersenyum getir pada ironi demokrasi yang terjadi di negeri ini. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 3/1/2025