Home > Nasional

Anggota Komite II DPD RI Prihatin 10 Ribu Hektare Lahan Pertanian Jadi Kawasan Perumahan

Data ini mencerminkan ancaman serius terhadap ketahanan pangan dan keseimbangan ekosistem di wilayah tersebut.
Senator Mirah Midadan Fahmid sedang mendengarkan keluhan warga NTB terkait alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan. (Foto: RUZKA INDONESIA)
Senator Mirah Midadan Fahmid sedang mendengarkan keluhan warga NTB terkait alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan. (Foto: RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Anggota Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Mirah Midadan Fahmid menyampaikan keprihatinannya atas fenomena alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Khususnya terkait 10 ribu hektare lahan pertanian di NTB mengalami penyusutan setiap tahun, terutama akibat pembangunan perumahan.

Data ini mencerminkan ancaman serius terhadap ketahanan pangan dan keseimbangan ekosistem di wilayah tersebut.

Lantaran dari total 270.000 hektare lahan produksi di NTB, penyusutan sebesar 10.000 hektare per tahun adalah angka yang signifikan.

“Permasalahan ini tidak hanya soal penyediaan perumahan. Kita juga harus memikirkan dampak jangka panjang terhadap ketahanan pangan nasional. Pengembangan kawasan pemukiman tidak boleh mengorbankan lahan pertanian yang strategis,” jelas senator dari Provinsi NTB dalam keterangan yang diterima, Senin (30/12/2024).

Fenomena ini dipicu oleh tingginya permintaan akan perumahan yang didorong oleh backlog perumahan, urbanisasi, dan pertumbuhan populasi di daerah perkotaan.

Di sisi lain, pengembang properti menghadapi keterbatasan lahan strategis non-pertanian yang mahal. Akibatnya, mereka sering menjadikan lahan pertanian sebagai solusi alternatif.

Dalam upayanya mencari solusi, Anggota Komite II DPD RI ini mengusulkan beberapa pendekatan strategis, baik melalui kebijakan lokal maupun adopsi praktik terbaik internasional.

Mirah merekomendasikan pengembangan perumahan di area Brownfield atau lahan bekas industri, seperti yang diterapkan di Inggris.

“Langkah ini memungkinkan regenerasi lahan yang sudah tidak produktif tanpa mengorbankan lahan pertanian,” terang Mirah.

Selain itu, merujuk pada konsep cohousing di Denmark, Mirah menilai pendekatan ini relevan dengan budaya masyarakat NTB.

Perumahan komunal horizontal memungkinkan pemanfaatan lahan yang efisien, sambil tetap mendukung interaksi sosial.

Untuk mencegah alih fungsi lahan, Mirah menekankan pentingnya insentif yang mendukung keberlanjutan lahan pertanian.

“Pemerintah perlu menawarkan program insentif yang menarik, seperti sertifikasi lahan sawah, akses pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur yang mendukung,” ungkapnya.

Mirah juga mendorong penguatan regulasi pengendalian alih fungsi lahan. Selain menetapkan lahan sawah dilindungi (LSD), pemerintah harus memberikan insentif yang tidak tumpang tindih dengan program lain dan benar-benar bermanfaat bagi petani.

“Budaya masyarakat NTB lebih condong pada hunian horizontal dengan pekarangan luas. Selain itu, daya beli masyarakat pedesaan yang sebagian besar berpenghasilan menengah ke bawah membuat rumah susun menjadi kurang terjangkau,” paparnya.

Melalui usulan strategis ini, Senator Mirah berharap pemerintah pusat dan daerah dapat bekerja sama dalam menyusun kebijakan yang seimbang antara pengembangan perumahan dan pelestarian lahan pertanian.

“Kita perlu merumuskan kebijakan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan hunian masyarakat, tetapi juga melindungi sumber daya yang menjadi fondasi keberlanjutan bangsa ini,” pungkas Mirah. (***)

Reporter: Bambang Ipung Priambodo

× Image