Home > Kolom

Catatan Cak AT: Mau Enggak, Nurut?

Dengan raihan suara PDIP sebesar 14 atau 15 kursi di DPRD Jakarta, harapan Anies pun membumbung. Ia merasa mendapat isyarat kuat bahwa partai ini akan mengusungnya di Pilkada Jakarta.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Mau Nggak, Nurut? (Foto: Dok Ruzka)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Pagi itu, 26 Agustus 2024, udara Jakarta cerah namun gerah. Tepat pukul 11.45, Anies Baswedan tiba di kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Menteng, penuh percaya diri dalam balutan batik merah.

Ia sudah mendengar kabar baik dari kunjungannya dua hari sebelumnya ke kantor DPD PDIP Jakarta di Cakung.

"Ini akan mulus," pikirnya. Lagi pula, semua tanda tampak mendukung. Mahkamah Konstitusi telah mengubah ketentuan syarat pencalonan gubernur yang 20% dari total suara sah, menjadi 7,5%.

Dengan raihan suara PDIP sebesar 14% atau 15 kursi di DPRD Jakarta, harapan Anies pun membumbung. Ia merasa mendapat isyarat kuat bahwa partai ini akan mengusungnya di Pilkada Jakarta.

Namun, siapa yang tahu bahwa lembaran cerita akan berubah menjadi kenangan tragis? Nasib tidak berpihak pada Anies. Pada Senin siang, 26 Agustus, hanya sehari menjelang masa pendaftaran calon Pilkada, harapannya kandas oleh ucapan Megawati, "Mau enggak, nurut."

Alkisah, dengan langkah yakin, hari itu Anies masuk ke Gedung B di belakang kantor utama PDIP Menteng, langsung menuju lantai 3.

Di sana, Ia disambut sahabat lamanya, Rano Karno, mantan Gubernur Banten. Obrolan mereka berlangsung lama —dua hingga tiga jam, berdiskusi politik hingga nostalgia Si Doel.

Sementara itu, di ruang lain, rapat penting sedang berlangsung. Mega, Ketua Umum PDIP, tengah berdiskusi serius dengan para petinggi partai, termasuk di antaranya Pramono Anung, Harto Kristiyanto, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan banyak lainnya. Situasi memanas, berbagai argumen dipaparkan.

Anies, yang menunggu di luar ruang rapat, masih ditemani Rano Karno. Ia mengepit buku catatan seperti mahasiswa yang siap sidang skripsi.

Kemudian seorang petugas mendekati Anies, meminta dia bersiap. Anies mungkin membayangkan momen epik itu: pintu terbuka, Mega menyebut namanya sebagai calon gubernur, dan ruangan bergemuruh dengan tepuk tangan.

Namun, kenyataan berbicara lain. Petugas itu kembali dengan wajah sendu, mengabarkan bahwa pertemuan dengan Mega dibatalkan. Tak lama kemudian, dari corong terdengar nama-nama calon PDIP untuk Pilkada diumumkan di aula, tapi tidak ada nama Anies disebut.

Anies pun keluar melalui pintu belakang, membawa hati yang lebih berat dari buku catatannya. Harapannya pupus, bersama asa pendukung setianya yang dikenal sebagai Anak-anak Abah.

Apa yang sebenarnya terjadi? Laporan Pramono Anung dari Istana diduga menjadi salah satu biang kerok. Jokowi, melalui Pratikno, dan disampaikan Pramono, mengingatkan bahwa pencalonan Anies berpotensi mengancam posisi Puan Maharani sebagai Ketua DPR.

Ahok menambahkan argumen bahwa jika Anies maju, bagaimana cara mengajak Ahoker mendukungnya? Dua keberatan ini cukup untuk membuat Mega mengubah keputusan.

Keraguan Mega sebenarnya sudah muncul sebelumnya. Ia menyatakan tidak suka melihat spanduk usulan pencalonan Anies yang dibentangkan di depan kantor PDIP oleh pendukung berbaju hitam.

Niat baik itu malah dianggap tidak sopan. Dengan nada tajam, Mega disebut meminta Anies menjadi kader terlebih dahulu jika ingin diusung, seraya berkata, apakah Anies mau nurut?

"Eh enak aja ya, _ngapain gua_ suruh dukung Pak Anies. Dia bener nih kalau mau sama PDIP? Kalau mau sama PDIP jangan gitu dong. Mau enggak, nurut?" ujar Mega di DPP PDIP, Jakarta, Kamis (22/8/2024).

Dia menilai, tak semudah itu memperoleh dukungan dari PDIP. Dia mempertanyakan ke mana saja Anies selama ini, baru muncul ketika butuh dukungan. “Enak amat ya. Sekarang kita dicari dukungannya, lalu kamu ke mana kemarin sore. Mbok jangan gitu dong," ucapnya.

Di belakang layar, berlangsung pula permainan catur politik tingkat tinggi. Jokowi disebut menekan Golkar, bahkan hingga perlu mengganti Ketua Umumnya menjadi Bahlil Lahadalia demi mudahnya mengusung Ridwan Kamil maju di Pilkada Jakarta.

Di sisi lain, Prabowo fokus mengamankan Jawa Barat dengan mencalonkan Dedi Mulyadi. Semua ini membuat peluang Anies kian menipis.

Anies menjadi pusat gangguan. Akhirnya, tercapailah kesepakatan: Golkar menarik Ridwan Kamil dari Pilkada Jawa Barat dan memberinya mandat menjadi calon gubernur Jakarta.

Sebagai gantinya, Gerindra mengusung Dedi Mulyadi di Jawa Barat. Kedua calon ini didukung oleh Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus), gabungan 12-13 partai. Di Jakarta, kekuatan mereka 91 kursi DPRD, 85% dari total kursi.

Sempat muncul wacana kuat agar Kaesang yang sudah menjadi Ketua Umum PSI diusung jadi calon gubernur Jakarta. Kaesang diharapkan menjadi penerus cita-cita Jokowi yang belum kesampaian.

Segala cara ditempuh, termasuk melalui MK untuk mengubah persyaratan terkait usia calon gubernur. Namun, perlawanan dari publik begitu keras, dan MK membuat keputusan yang menutup peluang Kaesang karena usia.

PKS, yang sebenarnya bisa mengusung Anies berkat aturan baru dari MK, memilih tetap setia pada koalisi dengan alasan demi menjaga etika perjanjian.

Namun, sebetulnya ada rasa kecewa pula. "Anies kurang perhatian pada kami saat menjadi gubernur," keluh mereka, seperti pasangan yang merasa diabaikan.

Dalam percaturan politik ini, Jokowi dan Prabowo tampaknya memiliki kepentingan berbeda, tetapi bersinergi demi memenangkan Pilpres 2029, khususnya di daerah strategis seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Jika tidak bubar, KIM Plus tampaknya akan menjadi kekuatan yang mengkhawatirkan.

Namun, yang perlu kita garis-bawahi adalah ungkapan Megawati tentang Anies, "Apa dia bisa nurut?" yang mencerminkan dinamika psikologi, khususnya dalam hal kepatuhan dan loyalitas politik. Kepatuhan politik mengacu pada sejauh mana seorang individu atau aktor politik mengikuti arahan dan kebijakan yang ditetapkan oleh otoritas atau pemimpin partai.

Megawati sadar, belum lama ini dia dikecewakan oleh Jokowi, kader luar, yang saat menjadi presiden pun disebutnya sebagai "petugas partai" dengan harapan loyal dan tunduk pada arahan partai.

Kekecewaan Megawati terhadap Jokowi yang dianggap tak patuh meneguhkan keraguan hatinya pada Anies, mantan gubernur Jakarta yang tak mudah dikendalikan.

Istilah "nurut" menuntut ketundukan total. Inilah loyalitas politik, yang lebih dalam dari sekadar kepatuhan. Ia mencakup rasa kesetiaan ideologis dan emosional terhadap partai atau pemimpin.

Dalam kasus Anies, Megawati tampaknya meragukan komitmen ideologis dan loyalitas politiknya kepada PDIP, meskipun ada peluang strategis untuk mengusungnya.

Ini menunjukkan bahwa loyalitas dalam politik tidak hanya diukur dari kesetiaan formal, tetapi juga dari kepercayaan bahwa seseorang akan mendukung visi, nilai, dan strategi yang disepakati.

Ungkapan "Apa dia bisa patuh" ini sekaligus menggambarkan dinamika psikologis dalam hubungan antara pemimpin partai dan aktor politik yang dianggap sebagai "outsider" atau bukan bagian inti dari struktur partai.

Drama ini menjadi pelajaran berharga: politik adalah seni kompromi, strategi, dan sedikit, ehm, pengkhianatan. Anies mungkin telah belajar bahwa di dunia ini, harapan bisa pupus lebih cepat dari lampu panggung yang dipadamkan.

Apakah ini akhir kisahnya? Tentu tidak, ini baru babak pertama dari sandiwara politik Indonesia. (***)

Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 24/11/2024

× Image