Pengamat Ingatkan Lembaga Survei Jangan Merangkap Konsultan Politik
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK - Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) menjatuhkan sanksi kepada Poltracking Indonesia imbas beda hasil survei Pilgub Jakarta dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Sanksi tersebut disikapi Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga yang disampaikannya kepada RUZKA INDONESIA, Selasa (05/11/2024) petang.
Ia menyebut bahwa sanksi yang diberikan kepada Poltracking tentu layak diapresiasi selama lembaga survei tersebut benar-benar mengabaikan atau melakukan kesalahan prosedur survei. Sebab, kesalahan prosedur, apalagi disengaja, tentu hasil survei itu dapat menyesatkan masyarakat dan merugikan paslon.
"Kalau mengacu pada penjelasan Dewan Etik Persepsi, memang ada kesan terjadi kesalahan prosedur yang dilakukan Poltracking Indonesia. Poltracking Indonesia tidak berhasil menjelaskan ketidaksesuaian jumlah sampel valid sebesar 1.652 data yang ditunjukkan saat pemeriksaan dengan 2000 data sampel seperti yang dirilis ke publik," ungkapnya.
Kalau hal itu benar, lanjutnya, tentu hasil data yang dipublis dengan data yang ditunjukkan saat pemeriksaan berbeda. Perbedaan itu tentu berimplikasi pada akurasi data yang dimiliki Poltracking Indonesia.
Hasil survei tersebut tentu layak dipertanyakan. Ini artinya, elektabilitas Ridwan Kamil-Suswono (51,6 %), Pramono Anung-Rano Karno (36,4 %), dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana (3,6 %) menjadi layak tidak dipercaya.
Penyampaian hasil survei yang tidak benar ke publik dapat dikatakan sebagai pembohongan publik. Hal ini tentu bertentangan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik.
"Jadi, penyampaian hasil survei yang tidak benar dapat menjatuhkan paslon itu sendiri. Pasangan Ridwan Kamil-Suswono tentu yang paling dirugikan. Sebab, pasangan ini dapat dipersepsi masyarakat kongkalikong dengan lembaga survei untuk menaikkan elektabilitasnya," jelas mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.
Bahkan masyarakat bisa saja menilai, paslon tersebut menggunakan lembaga survei merangkap konsultan politik. Akibatnya, hasil survei digunakan untuk menggalang pendapat umum ke paslon tertentu.
Menurut Jamil, hasil elektabilitas dikondisikan sesuai pemesan untuk menggiring pendapat umum ke paslon tertentu. "Di sini peneliti merangkap sebagai konsultan politik dengan memanipulasi data agar dapat menggiring masyarakat memilih paslon tertentu," imbuhnya.
Jamil juga melihat realitas itu sudah menjadi rahasia umum. "Karena itu, sudah seharusnya lembaga survei hanya fokus pada penelitian agar ia dapat obyektif dalam melaksanakan penelitian. Dengan begitu, lembaga survei bisa bekerja profesional dengan tidak merugikan paslon serta tidak melakukan kebohongan publik," tandas pengamat yang juga Dosen Metode Penelitian Komunikasi di Universitas Esa Unggul Jakarta ini. (***)